Site icon nuga.co

Asbab Tertunda

Hari ini saya harus menunda lagi untuk menulis pengalaman “magis” pulang kampung di idulfitri, Pulang kampung yang membuat saya sentimental.

Sentimental karena banyak kenangan yang menelikung. Menelikung oleh perjalanan waktu. Perjalanan waktu yang ditandai dari era yang berganti.

Kalau dulu saya berada di posisi bawah dalam status cucu, kini kondisinya terbalik ke atas di posisi kakek. Dipembalikan posisi inilah menguatnya keinginan bernostalgia

Nostalgia yang mengusik. Yang oleh para peneliti meng”kread” jawabannya sebagai dasar bagi perkembangan ingatan insani

Saya kini berada di posisi itu. Posisi perkembangan lanjut ingatan insani. Insani yang ingin terus menulis. Menulis untuk pembentukan identitas.

Ya.. ingatan selalu memberi kesinambungan bahwa Anda adalah orang yang sama  dan sebangun seiring berlalunya waktu

Ingatan kan selalu memberi detail tentang siapa Anda dan ingin menjadi seperti apa Anda.

Ingatan Anda akan menawarkan solusi-solusi potensial untuk masalah yang sedang dihadapi dan membimbingnya dalam memecahkannya.

Kenangan pribadi penting dalam interaksi sosial. Kenangan akan masa lalu dapat menjadi sumber rujukan ketika bertemu orang baru, serta dapat membangun hubungan dan menjaga hubungan yang sudah terjalin.

Ingatan dapat memberikan contoh situasi serupa yang pernah dialami sebelumnya, sehingga memungkinkan hadirnya renungan.

Renungan yang harus dikelola oleh  emosi yang dapat kita petik sebagai pelajaran dan  pengalaman,

Hussh.. salah arah…. Terlalu emosional.

Saya nggak akan meneruskannya. Karena bukan seorang psikolog terapan. Hanya seorang penulis ecek-ecek. Walaupun dulunya-dulu sekali- pernah menimba pengetahuan dari seorang Sarlito Worawan.

Sarlito yang tulisannya berjubel di media prestise negeri ini. Sarlito yang mengajarkan kepada kami insan jurnalis bagaimana menghadapi karakter narasumber.

Sudahlah…

Asbab dari menunda tulisan pulang kampung datang dari  kemauan otak yang mendesak untuk menulis lanjutan tulisan hari kemarin. Tulisan esai yang blaasss… di media online “Portalnusa”  kolom Bang Darman.

Tulisan yang menjadi perjanjian dengan dua teman. Yang  saya share kepada sang temans. Don Sabdono dan Amran Nasution. Yang saya tak perlu mengulang profil keduanya. Cukup baca tulisan berjudul “Masa Depan”

Tulisan kesepakatan tentang esai kegaduhan anak negeri ini tentang kemakmuran, pemerataan dan keadilan menyonsong kontestasi kepemimpinan.

Kontestasi yang di”lolong:kan corong media dengan pernak pernik dan di aplaus lewat setting skenario selfi para pendukung.

Lolongan yang hari-hari ini membuat saya menggeser niat menulis pulang kampung. Dan merajut lanjutan tulisan tentang kemarin. Tulisan penuh keplok bakal  ada pergantian rezim di  pemilihan umum tahun depan.

Pemilihan umum untuk  menilai dan mengomentarinya. Sebab menilai dan mengomentari  jauh lebih gampang. Lebih gampang lagi dengan  melihat ke belakang.

Dengan melihat ke belakang itu, kita bisa melihat  pola. Yang kemudian bisa terulang saat masyarakat harus memilih pemimpin selanjutnya.

Anda dan siapapun. semuanya, selalu belajar dari pengalaman sebelumnya.  Itu pekerjaan yang paling mudah. Mudah untuk menyalahkan dan membenarkan.

Bukankah menyalahkan orang lain itu sangat mudah. Sebab kesalahan terbesar kita adalah saat kita sibuk mengurus kesalahan orang lain?

Ingat juga era sekarang, hampir tidak ada buku yang jelek sampulnya. Dan orang belum tentu mau membaca bagian dalamnya.

Sebenarnya tantangan kita sekarang tidak hanya seperti melihat sampul buku. Baik dan jelek. Tantangan kita sekarang: Bagaimana harus bisa melihat lebih dalam, lebih jauh.

Orang yang kelihatan baik saja belum tentu cukup, karena belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Mungkin harus lebih berani mengambil risiko.

Kita harus benar-benar bisa membaca isi buku. Karena sampulnya sudah tidak ada yang jelek.

Impian saya: pemimpin yang ketika terpilih nanti tidak banyak kelihatan di billboard, media, termasuk media sosial. Tidak banyak atraksi, apalagi sok aksi. Seperti hari-hari ini.

Maaf, saya tidak pernah tahu siapa yang memimpin negeri ini tahun depan.  Siapa pun orangnya, dia seharusnya  benar-benar bekerja untuk warga. Tidak butuh dipuji warganya, apalagi dipuja-puja.

Maaf juga … ternyata saya sedang tidak lagi “mood” menulis.

Terlalu banyak rasa sebal, rasa kecewa, rasa sulit percaya, yang berseliweran di kepala.

Terutama terhadap politikus. Ketika banyak orang komplain tentang politius. Mereka bilang politikus itu brengsek.

Saya ikut-ikutan memberi stempel dengan kata brengsek itu. Tapi setelah mikirr baik-baik, memangnya para politikus ini datang dari mana?

Kan mereka tidak jatuh dari langit. Mereka tidak menembus selaput pembatas dunia lain. Mereka datang rumah besar bangsa ini. Mereka sepertinya orang terbaik yang bisa kita hasilkan.

Merekalah orang terbaik yang bisa kita tawarkan. Merekalah hasil dari sistem yang kita buat.

Kalau kita punya warga yang semaunya sendiri dan tidak peduli, kita akan menghasilkan pemimpin yang semaunya sendiri dan tidak peduli pula

Batasan masa jabatan tidak akan menghalangi mereka. Karena pada akhirnya kita akan terus mendapatkan orang-orang brengsek yang baru.

Karena itu, mungkin,  bukan politikusnya yang brengsek.

Mungkin, ada hal lain yang brengsek di sini. Seperti… masyarakatnya!

Ya, masyarakatnya yang brengsek.

Dan kita lah si brengsek itu………. mungkin….

Exit mobile version