Site icon nuga.co

Saipan Si “Krempeng” Teupian Raya

Namanya Saipan.

Ia hanya seorang pekerja bengkel. Bengkel kecil di kota kecil. Teupian Raya. Itupun kalau Anda setuju menyebutnya kota. Kalau nggak, cukup menyebutnya dengan “gampong.”

Teupian Raya yang gampong ini berada di lintasan jalan raya Banda Aceh-Medan. Berjarak tujuh belas kilometer dari kota kabupaten, Sigli. Atau seratus dua puluh sembilan kilometer dari Banda Aceh.

Dan empat kilometer dari Beureunen.

Beureunen yang terkenal dengan tokoh besarnya Daoed Beureuh, Tokoh besar Aceh karena ia dilabel sebagai pemberontak oleh Jakarta.

Tokoh yang sepertinya sudah diraibkan oleh tokoh Aceh masa kini. Masa ketika konflik kata-kata dipindahkan dari media maenstream ke media sosial.

Konflik yang menonjolkan ketokohannya untuk kepentingan : yang Anda paling tahu kemana muara kata kepentingan ini mengalir.

Daoed Beureuh pernah menorehkan sejarah pemberontakan karena menginginkan Aceh memiliki otoritas sendiri walaupun berada di bawah ketiak  en-ka-r-i. Sejarah juga mencatatnya pernah menjadi Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo.

Dulu, sebagai seorang jurnalis lapangan, dengan predikat reporter ecek-ecek, saya pernah mewawancarai Daoed Beureuh beberapa kali. Bahkan secara khusus saya pernah menyambanginya di usia tua. Di pembaringannya.

Sebuah kamar sempit rumah sederhana di gampong bereueh, beureunen..

Kamar yang ketika saya datang sebagai koeli tinta dari Jakarta diajak Menteri Urusan Pangan/Kepala Bulog Bustanil Arifin terpaksa harus mengantri.

Bustanil yang lulusan kadet akademi militer Bireun di bawah kepemimpinan Kolonel Husein Yusuf. Kadet yang magang ke medan area menghambat laju gerakan tentara Belanda di Langkat.

Buatanil yang selalu merendahkan kalau menyebut nama Daoed Beureuh.

Padahal Bustanil bukan Aceh luar dalam. Ia asli keturunan minang yang meng”aceh”kan diri secara utuh bukan hanya dari kata-kata.

Sama seperti Burhanuddin Muhamad Diah.

Di kenal BM Diah. Anak keturunan minang yang memiliki tapak sejarah dari Peulanggahan. BM Diah yang punya koran Merdeka dan pernah jadi menteri penerangan. Yang bangga menceritakan kehidupan trahnya di komunitas Aceh.

Sebagai pengingat tokoh ini di Beureuenen berdiri sebuah masjid megah di lintasan jalan raya Sigli – Medan.

Di Aceh sebuah kota kecamatan lebih akrab disebut gampong. Dan Teupian Raya memang “meugampong.” Meugampong dengan deret belasan toko di kiri kanannya.

Toko sederhana dengan jualan juga sederhana.

Sebutan meugampong  ini bisa lebih melebar kalau dikaitkan dengan perilaku manusia penghuninya. Manusia yang secara hukum lifestyle masih sangat tradisionil.

Seperti dipersonifikasi oleh diri Saipan.

Saipan yang “meugampong.” Anak gampong dengan peradaban yang tinggi. Adab yang ia hunjamkan dikepalanya lewat kesederhanaan. Kalau saya boleh menyebutnya dalam satu kata: lugu.

Keluguan inilah yang saya testimoni lewat sebuah tawaran menggoda. Tawaran untuk bekerja dengan saya. “Bisa di Banda Aceh atau di Jakarta. Saya beri modal. Mau nggak!”

Tahu jawabnya?

“Nggaklah pak. Saya sudah punya istri dan satu anak. Nggak mau jauh. Disini raseuki saya juga ada,” jawabnya.

Pertanyaan itu saya ajukan usai ia memperbaiki mobil saya yang ngadat di keude Teupian Raya karena radiatornya jebol. Yang membuat saya dan keluarga hampir celaka.

Anda tentu tahu kalau radiator mobil jebol. Bisa terbakar karena aliran air pendingin tidak mampu menetralisir komponen pembakaran untuk menggerak lajunya kenderaan.

Di hari itu, sepekan menjelang ramadhan, saya dan keluarga terselamatkan usai mobil yang kami kenderai berhenti total di pinggiran jalan Teupian Raya. Asap keluar dari ruang mesin dan kami berlarian keluar.

Tentu kasus ini menjadi masalah besar bagi saya. Menjadi besar lewat pertanyaan: apakah di kota sekecil ini memiliki bengkel dan teknisi untuk mereparasi mobil saya

Saya mencoba mencari tahu. Ditunjukkan sebuah bengkel di sudut jalan. Di pinggiran kreung Tepian Raya. Lantas saya datangii. O..alah. Tutup.

“Pemiliknya sedang berduka. Ada keluarganya berpulang,” tutur tetangga bengkel itu,

Lantas saya mendatangi sebuah toko lain diseberang jalan raya. Toko penjual alat-alat kendaraan. Dia mau membantu. Ditelepon seseorang mekanik. Tak ada tanggapan. Di coba lagi …di coba lagi… dan berhasil. Seorang mekanik gampong bersedia datang. Terima kasih.

Saya disarankan menunggu. Dalam hitungan belasan menit datang seorang anak muda mengendarai motor butut. Sedikit kerempeng. Pemalu. Menanyai saya seadanya tentang kasus radiator.

Lantas membuka tutup mesin tanpa menghiraukan celotehan saya tentang kejadian yang menyebabkan mobil ngadat. Ia sibuk sendiri. Mengutak atik. Yang kemudian mengatakan: radiatornya harus diganti.

Saya gelagapan. Kemana harus mendapatkan radiator baru. Anak muda krempeng itu tenang saja. Mendorong mobil lebih ke pinggir dan mengambil peralatan kerja di sebuah pondok kecil di sudut bengkel yang tutup tadi dan mulai bekerja dalam hening.

Yang kedengaran hanya keletak kleteuk kunci ditangan seorang cekatan, Plas. Selesai. Radiator dicopot.

“Nggak berfungsi pak. Bisa diperbaiki. Tapi waktunya bisa lama dan belum tentu bagus. Kita ganti saja,” katanya meminta saya untuk setuju dan kemudian menuju motornya meminta saya ikut diboncengan.

“Naik boncengan motor butut mencari radiator? Ke Beureunen lantas ke Sigli? Delapan belas kilometer?”

Saya nelangsa. Dan menemukan jawaban tuntas. Saipan ini memang “meugampong.” Lugu dan entah apalagi yang harus disematkan untuk sikap yang paling orisinil dari manusia.

Ia tak peduli dengan latar belakang sesorang. Termasuk saya.

Ia telah mengembalikan saya ke fitrah manusia sebenarnya, Mengenyahkan mbong yang selama ini membungkus diri saya.

Saya tak membantah. Menanyakan berapa patokan tertinggi sebuah radiator baru. Menyiapkan rupiahnya. Lantas duduk di jok motornya yang sudah mengelupas bungkusnya sembari menghentakkan jreng suara knalpot. dan terbang menyalip lalu lalang kendaraan jalanan.

“Kita ke Beureueneun dulu pak.”

Dari Teupian Raya ke Beureuneun saya menikmati bentangan persawahan dengan dangau-dangau kecil di tengahnya, Ada “pulau” perkampungan dikejauhan.

“Subhanallah indahnya,” bisik bathin saya di tengah raungan knalpot motor Saipan. Raungan yang disela oleh percakapan kami yang antara terdengar dan tidak dikecepatan spedo delapan puluh kilometer itu.

Percakapan Saipan menjawab pertanyaan saya tentang jati diri dan perjalanan hidupnya. Saipan yang lulusan sekolah teknik menengah yang kemudian berkarir di bengkel kecil milik pak wa nya. Yang kemudian “soh” untuk mandiri sebagai freelance.

“Enak jadi orang bebas pak. Apalagi saya sudah beristri,” katanya tersenyum yang saya lihat di kaca spion bututnya, Saya bebas. bekerja dibengkel pun bagi hasil, lanjutnya.

Saipan terus ngoceh tentang ke freelance-annya. “Saya tak punya modal untuk bikin bengkel. Tapi saya ingin punya bengkel kelak kalau ada raseuki,” yang saya candai,”kalau saya modali bagaimana?”

Ia tertawa dan kami sampai ke Beureuneun.

Sebelum memarkir motornya Saipan memfinalkan jawaban saya. “Nggak lah pak.  Kita baru kenal. Saya tidak tahu bapak siapa. Saya orang kampung,” saya mendelik. Jawabannya adalah sikap “meugampong”nya. Sikap beradab.

Sama dengan jawabannya ketika kami masuk ke toko penjual peralatan motor dan mobil di Beureueneun. Ia menanyakan  ketersediaan radiator, Harganya delapan juta.

Ia menggeleng. Mengajak saya kembali ke parkiran sambil ngoceh, “harga nggak masuk akal. Kemahalan.”

Padahal kalau ia meminta persetujuan saya,”sih oke” karena saya tak tahu berapa harga sebuah radiator.  Ia bisa bermain mata dengan penjual barang.

Dari Beureneuen Saipan memacu motornya bagaikan terbang. Sebelas koma enam kilometer, Menyalip banyak kenderaan di depannya. Saya deg deg an. Tapi percaya dengan keterampilannya mengemudi.

“Kita dibohongi. Harga radiator standar kan cuma dua juta paling mahal,” kata Saipan. Ia sangat jujur. “bisa kurang lagi. Kita ke Sigli saja. Saya punya langganan. Barangnya pasti ada kok.”

Saya oke.

Terserah.

Pokoknya saya bisa menikmati perjalanan paling nikmat. Tak ada bekas siksaan berboncengan di jok motor butut. Saya malah bersyukur Saipan bisa mempelorot magma “mbong” saya selama puluhan tahun.

“Mbong” yang merasa hebat sebagai jurnalis dengan karir puncak menjadi sesuatu di sebuah media lokal terkenal.

Pelorotan mbong yang juga pernah saya dapat pada sebuah pagi di track jogging Blang Padang Banda Aceh ketika mengulurkan recehan kepada seorang mak-mak pemungut botol plastik.

“Saya bukan peminta-minta,”katanya menolak uluran recehan saya. Saya memaksa dan memasukkan recehan itu ke tasnya. Ia berlalu. Bathin saya terhenyak. Mbong saya ambruk. Saya kehilangan ….. nanar dan menerawang.

Kali ini Saipan benar-benar telah mengembalikan saya ke jalan yang benar. Ia menjadi guru bagi perjalanan hidup saya sesungguhnya. Saya tak perlu belajar dari banyak guru dengan gelar berjibun.

Saipan adalah guru kehidupan sejati.

Ketika sampai di Sigli kami menuju ke toko langganannya di kawasan Blok Bengkel. Saya celengek celenguk menanyai setiap orang tentang ini dan itu. Ini dan itu tentang jalan dan bangunan yang sudah raib.

Maklum, saya kan pernah menetap di Sigli dalam hitungan bulan yang berulang-ulang. Kalau dijumla bisa menjadi tahunan,

Usai mendapatkan radiator baru dan membayarnya kami kembali ke Teupian Raya dalam kecepatan tinggi. Saya dibebankan Saipan mendekap radiator.

Beban yang tidak ringan di usia gaek.

Diguncang aspal jalanan.

Disiram gerimis kecil dan terpaan angin. Bukan main. Hebat kau Saipan. Mendera saya usai kau patahkan semua mbong saya.

Mbong yang selama ini tak seorang pun berani mengelupaskannya.

Mbong yang kini dipertontonkan lewat teater kehidupan para syedara tanyo.

Terima kasih aneuk “meugampong.”

Exit mobile version