Site icon nuga.co

Ronaldo, Anak Madeira Itu Mengoyak Old Trafford

Malam itu, Ronaldo mengangkat kedua tangannya menjangkau “langit,” usai menjengkang United.  Ia, sepertinya,  tidak  sangat bahagia dengan gol kemenangan bagi klubnya, “El Real” di malam itu. Ia juga, seperti dikomentari “Sky TV,” kehilangan keseimbangan ketika selebrasi itu.

Ia tidak bahagia, karena  membuat Old Trafford bungkam. Hening. Dan Ronaldo tahu betapa tercabiknya hati publik Manchester atas “pengkhianatan”nya. Pengkhianatan  anak Meldeira yang dulunya masih ceking dan hanya tahu berlari dari sayap yang kemudian  mereka besarkan menjadi warga dunia.

Ronaldo, seperti kemudian ia katakan kepada wartawan “The Guardian,” surat kabar prestise yang dulu menyapanya dengan “Si Meldeira,” memang tidak bahagia. Ia agak rikuh dengan kekalahan MU di malam kelabu itu. Malam pertandingan leg kedua 16 Besar Champions yang mengharuskan salah satu dari dua tim paling populis di jagat bumi itu, MU atau Madrid,  harus tersingkir. Dan malam itu MU yang harus tercampak dari laga Liga Champions.

“Saya tidak punya komentar untuk kemenangan ini. Saya tahu bagaimana mimpi anak-anak Old Trafford yang menguap. Saya sepuluh tahun dengan mereka. Saya datang sebagai anak udik ke sini. Mereka membesarkan saya. Maafkan kalau ini sebuah pengkhianatan,” kata Ronaldo dengan sendu.

Ronaldo yang datang menghampiri reporter MUTV, jaringan televisi milik Manchester United,  setelah bertandingan berakhir dan meminta untuk menghentikan sorot kameranya. Ia berbisik kepada Adam Smith, sang reporter, yang dulu menjadi “temannya” di kandang “Setan Merah” itu, agar tidak membuat pertanyaan provokasi. “Saya tidak ingin mencederai perasaan publik Old Trafford, sungguh,” kata Cristiano Ronaldo sebelum wawancara di mulai.

Ronaldo, malam itu, seperti dikatakannya kepada Smith, yang selama sembilan tahun pernah hidup bersama, menggelandang bersama di Old Trafford, “ Saya hanya seorang profesional.”  Smit mafhum dengan peran sebagai seorang prefesional sepakbola.

 “Saya harus menjaga eleganitas. Ini harga yang harus saya bayar untuk sebuah sikap. Dan kalau saya berkhianat untuk klub yang saya bela,  saya harus hengkang dari lapangan,” katanya.

Ronaldo memang tak bisa melupakan Old Trafford, yang ia katakan sangat magis dan selalu penuh dengan drama. Banyak episode yang sudah ia jalani selama sembilan musim di sana. Ia di “baptis” dengan “CR-7.” Sebuah panggilan dari penggabungan angka “keramat 7” yang ia “rampas” dari David Beckham. Sebuah angka dari nomor punggung yang kini menjadi identitasnya di ranah sepakbola.

Ia datang sebagai pemain “udik” dari “Sporting Lisbon” dengan harga “cepek,” dan tidak banyak di lirik oleh klub kecil sekalipun. Ia beradaptasi dengan baik di Premier League. Dan ia di basuh siraman mentornya, Alex Ferguson. Ronaldo melakukan metamorfosa di Old Trafford sebagai sayap 4-2-2 adaptasi Sir Alex.

Di Old Trafford pula ia menjelma sebagai pemain setengah sayap dan setengah gelandang serang. Ia bukan sayap murni dalam “tex book” permainan “kick and rush” yang membosankan. Ronaldo selama di MU menjelma menjadi “monster” dengan “sprint”nya yang bagus dan penguasaan bola sempurna.

Ia diberikan kebebasan bergerak oleh Sir Alex, tidak hanya sepanjang garis gawang lewat asisnya yang akurat, tetapi juga masuk ke ruang tembak. Perannya yang dimodifikasi oleh Alex ini lah yang mengantarkan Ronaldo menyebet “Ballon d’Or.” Pemain terbaik sejagad.

Ronaldo menyempurnakan perannya selama di Old Trafford lewat adaptasi permainan menyerang, asis sempurna dan memenfaatkan umpan sempurna dengan gol. Ia juga dibentuk oleh Alex untuk memanfaatkan bola mati. Bahkan “long passing”nya yang keras dan terarah dengan efek kejut menempatkannya sebagai pemain yang berbahaya di “second line.”

Juga, jangan pernah biarkan ia berlari menyongsong umpan di kotak penalti. Lompatannya sempurna dengan tandukan kepala yang bisa menjengkangkan kiper lawan. Dan selama di Santiago Barnebeu, setelah ia dilepas untuk merumput di Madrid oleh Fergie dengan bayaran paling tinggi dalam sejarah transfer pemain, dan dipoles oleh “si genius” Jose Mourinho, Ronaldo hanya bisa dikalahkan penampilannya oleh Lionel Messi.

Dalam beberapa hal Cristiano lebih unggul di banding Messi yang mendapat empat kali trofi “Ballon d’Or.” . Termasuk kehidupan pribadinya yang sangat  glamournya dengan dugem dan gonta ganti pacar.

Kepindahannya ke Barnebue, sering dikatakan sebagai salah satu cara Fergie mengusirnya untuk menghindarkan “matahari kembar, makin menjadikannya lebih “dewasa.”  Selama, hampir empat tahun di Madrid, Christiano menjadi sumbu dari permainan klub “Ibukota” itu.

Tidak hanya mengoleksi 185 gol dari 184 penampilannya berama “El Real,” termasuk 30 gol dalam dalam 35 laga Liga Champions, Ronaldo menyuntikkan ketajaman, kecepatan, motivasi dan kepercayaan diri bagi Madrid. Di awal kepindahannya Madrid memang sempat oleng. Tapi setelah kedatangan Jose Mourinho, Madrid kini lebih konsisten,

Kini Madrid sedang berada di atas “angin.” Setelah menaklukkan Barcelona dalam dua kali laga “el clasico” di Copa del Rey dan La Liga serta mengoyak “asa” MU di laga 16 Besar. Dalam peran besar Madrid inilah Ronaldo hadir dan matang dalam usia 28 tahun.

Ia kini menjadi ikon kecepatan, ketepatan dan kelicikan dalam memprovokasi pertahanan lawan. Ia tampil sebagai pencetak gol gegap gempita. Bukan kelembutan semacam Messi. Dalam kiprahnya inilah Madrid melangkah ke tangga juara Liga Champions dan Copa del  Rey.

Langklah gegep gempita dari kecerdikannya memetakan titik kelemahan lawan. Dan ia akan akan mengekspolitasinya sepanjang pertandingan. Dan itulah yang dibuktikannya dalam tiga laga terakhir, dua di antaranya di “el clasico” melawan Barcelona dan satu lainnya menyingkirkan MU dari laga Champions.

Exit mobile version