Pagi itu, Sabtu pertama di bulan Maret. Angin lembut mengusap kami waktu menaiki kapal kayu ukuran sedang di pelabuhan nelayan
Nuga Travel
Nuga Travel
JALAN Perniagaan, pagi ketika kami datang masih sepi. Pertokoan, yang berbanjar di dua sisi jalan, baru satu dua yang buka
HARI itu waktu “dhuha” dipenghujung Januari. Kami baru saja melewati jembatan terpanjang di bumi belahan “selatan” negeri bertuah ini. Jembatan
Lambeusoi disebuah siang yang senyap, pengujung Janurai lalu. Kami datang lagi ke kampung bertuah itu, setelah empat tahun berselang. Kami
INGIN menikmati “steak” ayam di Banda Aceh? Hanya satu yang paling “mak nyusss.” Gunung Salju. Ya, “restoran,” dalam tanda dua
“IE TEUBE,” air tebu,” Cot Gleungkeuh adalah teguk segar kenikmatan yang mengusir haus. Air tebu yang telah menusantara ketika kelezatannya
ULEE LHUEUE. Ya, sebuah gampong “heritage” dengan pelabuhan tua yang cerocok lapuknya menusuk laut. Cerocok dengan selangkang besi karatan berkolom
Ulee Lheue di Koetaradja// Boleh tak boleh di bawa saja…. ITULAH penggalan bait nanyian irama keroncong Abraham Titaley. Nyanyian anak
DODENT, sebuah nama “keren” di pelataran senyap untaian taman laut Iboh-Rubiah-Gapang. Nama yang dicatatkan dibanyak “web, blog” dan “email” komunitas “dive”
WAJAHNYA kusut. Celana ”blue jean” merek “wrangler,” khas penampilannya, sudah bersalin warna, belel. Lipatan kakinya “jean,” dihari itu sudah ditumbuhi