Di jula malam tiga puluh enam tahun lalu, di sebuah rumah tua jalan teuku nyak arief lampriek, kami menyiapkan “launching” nomor pertama sebuah surat kabar dalam bentuk dummy
Dalam bentuk contoh.
Dari meja arah “past up” tempat dummy itu diolah saya mendengar lamat-lamat gumam suara dari seseorang dengan perasaan gamang.
Perasaan gamang itu dilontarkannya setengah acuh. “Apakah surat kabar yang akan terbit ini mampu menyongsong badai sebuah isu ………?
Maaf…saya sengaja gak mengisi kata di titik-titik ini karena ada sensitifitasnya di negeri syariah itu, dulu…
Walau pun hanya titik-titik, maksudnya jelas. Gak perlu harus lebih jelas.
Lebih jelasnya, apakah surat kabar harian yang kami siapkan di jula malam dalam bentuk contoh itu bisa melewati ghibah cebong untuk menyatakannya sebagai kampret….
Saya kaget atas gumam itu. Sedikit. Sebab yang bersuara dalam gumam itu adalah salah seorang anggota tim yang disiapkan mengelola administrasi surat kabar baru itu.
Saya pura-pura tak mendengar.
“Jangan-jangan dia betul” Begitu kata gumam batin saya. Yang kemudian kegamangan itu saya ceritakan dengan kalimat terukur tapi skeptis kepada seorang teman lainnya
Ia menenangkan saya dengan dua patahan kata. Ringkas. “Tenang saja”, jawabnya. “Mungkin tiga bulan lagi bubar, tapi kita sudah membuat sejarah.”
“Ya… jangan-jangan dia betul,” kembali batin saya menjawab. Bukan untuk menghibur. Yang pasti dalam perjalanan usia sepertiga abad kemudian, ternyata kegamangan itu gak betul.
Surat kabar hariasn itu ternyata membuat sejarah karena pada dasarnya ia muncul secara baru dan separuh nekad.
Saya memberi catatan bahwa surat kabar itu lahir mengubah corak harian lokal yang sebelumnya secara berkala kehidupnnya ringkih.
Bahkan surat kabar dalam bentuk nomor dummy itu bisa tampil bak toko-serba-ada dari sisi rubrikasinya
Tentang rubrikasinya ini bisa disalin dari banyak cerita dalam uraian panjang pembacanya. Dari pembaca type warung kopi di pinggir jalan lintas hingga ke kampung-kampung udik.
Ulasan peristiwanya tentang konflik rajang perang dan kekerasan yang mengisi hari-hari terik waktu itu menjadi timpan dan pulut panggang pengunjung keude kupi solong dan taufik
Ada apit awe, sebuah tulisan ringkas dalam bentuk box yang menjadi obat penenang. Ada gam cantoi karikatur yang membuat orang mentertawakan dirinya.
Ya…. saya gak menampik banyak tanya tentang tampilan surat kabar itu yang mengambil model media toko-serba-ada
Isinya tak hanya melulu“berita”. Bahkan di edisi minggunya ada rubrik teka-teki silang, atau cerpen. Walau pun kadang-kadang saya ngoceh tentang rubrik agamanya seperti khotbah
Di awal penerbitannya kami tak tahu adakah pembaca akan tertarik dengan cara baru menyampaikan informasi itu.
Media ini disiapkan tanpa didahului survei. Ia meloncat di dalam gelap.
Sehingga sebagai komponen yang menyiapkannya sejak awal saya sering menyindir diri sendiri bahwa surat kabar ini seperti kantong plastik yang dijejali unsur lima + satu ha
Tak ada perjalanan tualang bahasa. Padahal saya berangkat dari seorang yang punya prinsip bahasa bukan hanya mengisahkan dunia, ia juga membentuk dunia.
Saya tahu bahasa sering bahasa punya hubungan dengan sesuatu yang tak selamanya nyaman: kekuasaan.
Entah ya….
Kembali ke ruang past up tempat suara bergumam dengan nada gamang itu berada
Ruang itu berada di sayap kanan sang rumah tua dan terhubung dengan ruang printing, cetak film yang menyatu dengan “hall” mini.
“Hall mini” ini merupakan bangunan tambahan beratap rendah mirip bangunan pasar sayur yang jadi tempatnya wartawan dan juru ketik bekerja menghasilkan produk yang namanya berita.
Saya bagian dari semua pekerjaan itu sebagai orang produksi. Dan saya juga menjadi bagian kegamangan seseorang di meja past up itu.
Kegamangan yang awalnya saya rasakan ketika menjalani proses rekrutmen ala kaki lima. Rekruitmen yang sangat heteregon.
Sebelumnya isu itu sudah terendus dalam suara gamanshbabnyg yang lain di ruang pelatihan karyawan produksi ketika seorang teman mengingatkan gak mudah membangun suratkabar di tanah merdeka
Untuk itu ketika up menulis pengalaman ini saya tidak hanya gamang tapi juga bimbang. Ada rasa enggan yang datang terhadap rajang tafsir yang bakal muncul.
Ini bukan daleh. Sebab saya sadar perkembangan tafsir dalam bentuk ghibah yang bernama hoaks di era sekarang biisa melahirkan banyak ahli tafsir. Tafsir yang sulit mencari sanadnya
Pada tahun itu, nun di negeri pucok donya terbit sebuah surat kabar harian. Bernama serambi indonesia.
Penerbitan surat kabar harian ini ashbabnya untuk memenuhi permintaan seorang gubernur kelahiran gigeing simpang tiga.
Gubernur yang ingin me”merdeka”kan anak-anak tanh merdeka. Memerdekakan cara berpikirnya agar gak mentok di strata “toke bangku.” Toke bangku itu sering disinonimkan dengan “muge.”
Gak banyak yang tahu bagaimana proses kelahirn media yang dijalin lewat kerjasama dengan kata gamang itu. Kegamangan yang kemudian berjalan mulus hingga sekarang
Saya amat tahu ashbab kegamangan itu. Walau pun gumam lamat-lamat itu sempat membuat saya buncah.
Gumam yang terus datang di banyak kesempatan dan di ruang yang berbeda, Di ruang past up maupun ruang pelatihan.
Maklum koran yang akan di launching itu berada dan beredar di daerah muslim sementara yang ngemongnya di cap sebagai koran katolik.
Saya gak ingin menuliskan bagaimana proses awal kerjasama itu terjadi. Terlalu ruewt. Ada tolak dan tarik hingga menyentuh jatah distribusi kepemilikan dan penempatan personal.
Khusus untuk ini bisa saya mencatatnya, semuanya kesulitan itu teratasi dengan baik.
Kerjasama yang semula dinilai akan susah itu ternyata dalam perjalanan waktu membawa hasil, hingga kini.
Kemarin siang saya bicara dengan seorang teman di keude kupi milik seorang syedara di kawasan pal merah yang ada kupi saringnya
Kawasan yang didentikkan sebagai milik media yang ngemong itu. Media yang ditandai dengan menjulangnya sebuah tower dengan tusukan ujungnya menyentuh awan langit.
Sang teman merupakan orang yang tepat menjawab seluruh kegamangan saya yang lama tersimpan itu. Saya tahu ia menjadi salah satu wakil owner yang memilki cerita sahih.
Ceritanya di mulai dari akhir dasawarsa delapan puluhan ketika media yang berumah di pal merah itu “meledak”, baik oplah maupun iklannya.
Ledakan itu ditandai dengan kebijakan pemerintah pada tengah dasawarsa itu melepaskan nilai tukar dolar yang membuat perusahaan itu malah bertambah koceknya.
Betapa tidak, saat itu hutang dolar tinggal beberapa puluh ribu dollar sementara simpanan kebanyakan berupa mata uang asing.
Jadi pada saat banyak perusahaan gulung tikar atau kelabakan, sementara grup surat kabar itu justru memanggungkan kenaikkan kesejahteraan.
Sementara itu koran-koran besar yang terbit di daerah mulai kekeringan . Terutama aliran iklan
Para pemasang iklan merasa lebih diuntungkan memuat iklan di koran nasional yang beredar di seluruh negeri daripada di koran-koran daerah.
Kasus ini menyebabkan koran daerah “berteriak” Caci maki tentang keadilan bergemuruh
Saat itulah seorang jakob oetama mengakomodir serangan para “politikus” dari daerah-daerah dalam untuk mendapatkan perhatian dan bantuan.
Awalnya bantuan untuk koran daerah dilakukan dengan bantuan pelatihan, baik manajemen maupun redaksional.
Sang teman mengatakan ia sempat melatih masalah produksi koran, Dari sabang hingga Merauke.
Namun bantuan pelatihan tersebut tidak efektif dan tidak membuat koran yang dibantu langsung bisa bangkit.
Intinya, penerbit koran daerah tidak punya dana untuk mengembangkan korannya sehingga muncullah ide untuk meningkatkan kerjasama.
Kerjasama ini gak sekadar memberi bantuan tetapi masuk ke dalam kepemilikan di koran daerah. Membawa modal dan keahlian. Dari sinilah muncul gagasan membentuk kelompok pers daerah.
Persda.
Memang maksud baik tidaklah selalu berbuah baik, kata si teman. Terutama dalam hal kepemilikan izin usaha penerbitan.
“Kita sebagai pemilik modal membiayai semua pengembangan perusahaan namun izin kepemilikan tetap pada mereka”
Sehingga di banyak tempat sering terjadi konflik antara pimpro dengan pemegang izin yang masing-masing didukung karyawan berbeda.
Kerjasama itu umumnya memang rumit. Tenaga-tenaga yang diterjunkan pemilik modal a biasa kerja dengan system yang sudah ada sementara di tempat baru harus menciptakan sistem.
Dengan demikian pengelolaan usaha seolah menjadi ajang latihan. Sementara itu pemilik sudah tidak sabar untuk bisa segera menikmati buah kerjasama tersebut.
Setiap tahun diminta membuat perencanaan modal yang dibutuhkan dan pada akhir tahun mempertanggungjawabkannya.
Pada midsemester dievaluasi, dikoreksi, kalau dirasa kurang minta tambahan.
Semangat yang berkobar saat awal menjalankan tugas, membuat perencanaan anggaran jauh meleset dari pelaksanaan.
“Itu namanya bukan mau membantu, tapi mau membunuh kami!” Kuti psi teman tentang banyaknya kerja sama yang berantakan
Dikatakannya ada tujuh belas kerjasama waktu itu di berbagai daerah. Dan hanya satu kerja sama yang berhasil melewati tapal batas. Namanya :serambi yang kini indonesinya sudah menguap.
Serambi yang tumbuh menjadi sebuah institusi berjalan lancar karena kini tidak ada lagi yang harus diberi “tenggang rasa” ketika mengambil keputusan.
Serambi yang berkembang dengan teknologi dan sistem otonomi daerah membuat keberadaannya menyatu dengan dinamika daerah. Berita daerah…
Ini lebih kurangnya…. Saya tak ingin melebarkan tulisan ini dari kegamangan.. karena saya sendiri yang gamang..