close
Nugatama

Rancung Telah Kembali Ke”khitah”nya

Rancung. Tigapuluh dua tahun telah berlalu. Sebuah Enklaf di utara areal Blang Lancang itu, berhampiran dengan train-train PT Arun dan masih menjadi areal kilang gas alam itu. Ketika kami bersua kembali dengannya, di pengujung hari terakhir November lalu, ia tak menyisakan secuil pun ekslusifitasnya. Ia hanya bisa bersambung di memori kami lewat rambatan kenangan

Ketika kami datang, juga, tak ada lagi barisan rumah “maut” tempat tentara “membonyokkan” para “pejuang,” di jalan arterinya.

Barisan barak hunian elite tentara republik, yang setiap kami lewat, dulunya, mengundang rasa nyilu dan membuat tengkuk bergidik membayangkan interogasi berdurasi sadis yang melukai rasa kemanusiaan saya.

Barak, yang dulunya. untuk lewat saja dipelototi petugas jaga bagaikan “perampok,” walau pun harus mememakai mobil bertuliskan PTA dan penumpangnya dibekali “card-pass” yang tidak sembarang “tamu” bisa mendapatkannya. Barak yang sangat kontras dengan lakon kemakmuran yang datang dari “resort” milik bule dengan nama global, “internasoonal resort”

Dan kini, resor itu, juga tak bersisa lagi. Resor pantai hunian “global.” Tempat membentuk komunitas dengan rumah “caravan”nya, sekolah “internasional,” restoran hamburger dengan bioskop minnya. Bahkan di pantainya, yang dulu tertata rapi dengan barisan papan selancar berderet, dan cemara laut serta pohon kelapa menahan tiupan angin timur, kini sudah raib.

Dulu, ketika kami datang ke Arun, dengan predikat jurnalis kelas satu, pasti disuguhkan tawaran dari “public relation”nya, apakah itu “boss” A.K. Endin, “section head” Ridwan Mahmud atau “supervisor” sekelas Sayed Mudahar atau Azhari Ali, dengan pertanyaan; “pilih guest house, doormetory atau Rancung.” Pasti kami menjatuhkan pilihan, Rancung.

Pilihan ini tentu bukan karena di Rancung bisa “cuci mata” melihat bini-bini para bule berbikini ria, bahkan terkadang “no-bra.” Pilihan kami ada tiga. Makan enak, nonton bioskop mini dan kenikmatan tinggal di “caravan” yang bersih dan “mewah”nya minta ampun.

Satu lagi alasan kami memilih hunian “global” itu, di Rancung “privacy” menikmati kebebasan. Menginap di rancung kita memiliki tiket menikmati ketentuan “non-formal.” Kalau memilih “guest house” di Bukit Batu Phat sana, ada keharusan datang ke meja makan dengan pakaian “resmi.”

Dulunya, dalam kunjungan awal kami ke Arun, pilihan guest house” Batu Phat adalah prioritas karena standar pelayanannya bisa menyamai hotel bintang lima. Tapi itu tadi, ketentuan formal dan batasan privelese menjadi hambatan bagi seorang jurnalis, seperti kami untuk mendapatkan banyak informasi.

Ya, Rancung yang “global” dengan pernik-pernik “say hello” penghuninya membuat kami kesengsem. “Steak” yang berasal dari daging kelas satu. Buah dan jus-nya berdurasi Texas. Serta pilihan makanannya bersajian “restoran high class.” Dan selalu melimpah

Nggak percaya tanyakan dengan Azhari Ali, kini menetap di Lhokseumawe, dan dulunya “section head” di “public relation” PT Arun. Kalau nggak bisa ke Azhari, tanyakan ke Sjamsul Kahar, rekan saya, dulunya koresponden “Kompas,” kini masih “berkibar” mengelola surat kabar lokal “Serambi Indonesia.”

Rancung, di awal operasional PT Arun, perusahaan patungan Pertamina, Mobil Oil, kini Exxon-Mobil, dan Jilco, yang mengelola pabrik gas dengan enam kilang, atau train, itu memang menjadi kawasan khusus dan menjadi perlambang dari ekslufitasnya sebagai hunian berdurasi sangat “barat,” tapi dipagar dengan “securiti,” yang ketatnya bak instalasi militer.

Rancung, banyak orang tahu nama dan “gosip” globalnya, tapi mereka tak pernah tahu bagaimana hunian itu menjalani hidup yang serba wah…. Tak percaya? Tanyakan ke tetua di Pasar Batu Phat atau penghuni rumah di Blang Lancang yang jaraknya tak sampai seribuan meter dari enklaf Rancung.

Mereka pasti menyambung-nyambung penggalan informasi yang kebenarannya berisi gosip isu dan ghibah. Tidak akurat secara fakta tapi mereka yakini sebagai cerita kebenaran.

Dan kunci pertanyaan ke mereka dengan nada tanya,”apakah pernah pergi ke sana?” Pasti di ekspresikan lewat gelengan dan di sambung dengan kalimat pendek,”kata orang.”

Ranucung memang misteri bagi penghuni pasar Batu Phat dan Blang Lancang. Bahkan, di sebuah kesempatan Azhari Ali dengan nada pasti mengatakan,” Karyawan PT Arun saja nggak pernah datang ke sini.” Itu jawaban kunci Azhari ketika ditugaskan mengantarkan kami ke hunian global Rancung.”

Menulis Rancung, setelah tigapuluh dua tahun berlalu, memang tidak mudah bagi kami. Ada benang sejarah yang terputus dari eksitensinya sebagai bagian dari kejayaan PT Arun Ngl. Kejayaan dari sebuah monument “heritage,” di hari-hari menjelang ajalnya untuk disalin menjadi regasifikasi, hingga perjalanan kelamnya sebagai lokasi barak tentara yang menginterogasi para pejuang tanpa peduli dengan HAM, walau pun berada di luar komplek.

Interogasi sadis dan penangkapan dengan label separatis tanpa surat perintah, bahkan tanpa peradilan layaknya manusia yang bersalah.

Rancung memang meninggalkan jejak manis bercampur kepahitan ketika anak negeri berjuang mendapatkan haknya atas tanah dan buminya yang diberangus atas nama sentralisasi dan otoritas pemerintahan “Jakarta-Sentris.”

Tak ada fiskal yang dikontribusikan atas nama proyek kemakmuran dengan perencanaan domestik. Semua terpusat tanpa mengindahkan bagian yang harus jadi milik daerah. Aceh –Jakarta, ketika itu terperangkap dalam pola hubungan ala “v.o.c” dengan sistem rente “tanam paksa.”

Sistem yang dipatronkan semua serba Jakarta. Dan Jakarta-ah yang paling tahu kebutuhan Aceh. Kebutuhan letusan bedil dan para “pejuang” ditangkapi atas nama gerakan pengacau liar. Gerakan yang diamini oleh komunitas global, yang kala itu memegang teori demokrasi lewat “mazhab” Huntington. Bukan mazhab Robert Daall yang akomodatif.

Rancung, hari kami datang di ujung siang, hanya sebuah tepian laut dengan tapak beton berserakan. Tapak dari sebuah pertanda, bahwa di sini, dulunya, tiga dekade lalu, pernah hidup sebuah kejayaan. Kejayaan milik para tukang rente tanpa pernah menyentuhkan hasil ribanya untuk kemakmuran Blang Lancang dan Batu Phat, yang “meugampong.”

Bukan Batu Phat dengan rumah “mewah” berpagar kawat dilengkapi properti semacam “guest house, doormetory, kolam renang di puncak bukit dan lapangan golf delapan belas “holes.”

Tapi Batu Phat dengan rumah beratap rumbia dan Blang Lancah yang kumuh dengan kehidupan penduduknya yang kembang kempis, dan membangun masjid dengan uang iuran yang sampai PT Arun pergi masih belum rampung.