close
Nuganomics

Tarif Murah PLN Sudah Berakhir

PT PLN tahun ini mulai memasuki tarif berdasarkan harga pasar dengan memberlakukan harga yang harus dibayar pelanggan setiap bulannya seperti membeli Pertamax, naik turun, mengikuti pergerakan nilai tukar rupiah, harga ICP dan inflasi.

Pemberlakuan tarif ini memang masih meliputi beberapa golongan pelanggan dan berlaku mulai tagihan Mei ini PLN, mengaku tarif ini persis seperti yang berlaku di era Soeharto . Pada waktu itu PLN sudah menetapkan skema tarif tersebut bagi semua golongan.

“Saya lebih senang dengan tarif listrik pada tahun 1994-1997, eranya Presiden Soeharto,” ucap Nur seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 30 Mei 2014..

Dia menambahkan, dengan penerapan tarif tersebut membuat PLN meraih keuntungan yang sangat besar jika dibandingkan BUMN-BUMN lainnya.

“Saya masih ingat keuntungan PLN terbesar di antara BUMN yang lain, rating kita BB- (peringkat utang), jadi investment grade, subsidi juga nol, kalau mau naikin tarif listrik tidak dibicarakan lagi di DPR lalu kebutuhan investasi bisa dipenuhi,” paparnya.

Selain itu, masyarakat pun tidak pernah berdemo dengan penetapan tarif ini dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga pada masa itu. Pasalnya, tarif listrik tersebut floating, selama tiga tahun itu naik turun.

“Tarif adjusment enggak ada masalah, masyarakat juga enggak ada masalah. Saya merindukan regulasi keemasan pada jaman itu. Ekonomi juga tetap berjalan tumbuh enam persen, politik saja yang bermasalah,” tegas Nur.

Namun, tarif ini berakhir ketika krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 yang membuat nilai tukar Rupiah terpuruk sehingga pelanggan keberatan dan tarifnya pun disubsidi.

Walaupun krisis sudah lewat, pemerintah lupa membalikkan tarif adjustment kembali dan baru diterapkan lagi pada 1 Mei 2014. “Baru sekarang diterapkan lagi, dan ini hanya sebagian pelanggan, dulu itu semuanya,” pungkasnya.

Sekedar informasi, tarif penyesuaian ini diberlakukan terhadap pelanggan nonsubsidi besar R-3 daya 6.600 va ke atas, bisnis menengah B-2 daya 6.000 va sampai 200 kva, bisnis besar B-3 daya di atas 200 kva dan kantor pemerintahan sedang P-1 daya 6.600 va sampai 200 kva.

Kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi dengan penyesuaian tarif tenaga listrik bagi sektor industri tidak akan membuat inflasi melonjak tajam seperti yang dicemaskan sebagian pihak.

“Dampak inflasinya tidak akan sebesar seperti kenaikan BBM,” kata pengamat ekonomi dari EC Think Aviliani.

Dari beberapa kajian dampak inflatoar kenaikan tarif listrik industri diprediksi tak separah yang diklaim kalangan pengusaha karena bobot tarif listrik yang hanya 6 persen dari total biaya produksi.

Dia melanjutkan, Mandiri Sekuritas pernah menyebutkan bahwa dampak tidak langsung dari kenaikan tarif listrik industri sulit diukur, sehingga perlu hati-hati menilai dampak kenaikan tarif listrik terhadap kenaikan harga-harga barang umumnya.

Pasalnya, pertama, industri yang berbeda memiliki struktur ongkos listrik yang berbeda. Kondisi ini akan memengaruhi skala dampak lanjutan . Kedua, berdasarkan pengecekan Mandiri Sekuritas, beberapa perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia telah membayar tarif spesial yang mendekati harga nonsubsidi dengan tujuan mengamankan pasokan listrik.

Meski jumlah kenaikan TDL bagi segmen industri tertentu dinilai cukup tinggi, namun inflasi tahunan masih tetap berada dalam target kisaran empat setengah persen plus minus satu persen sebagaimana target awal tahun lalu.

Meski demikian, Aviliani tidak menafikan adanya kemungkinan kenaikan inflasi. Tapi itu bukan disebabkan oleh kenaikan TTL semata, melainkan adanya kebijakan lain. Adapun momentum kenaikan TTL ini hanya menjadi faktor pendorong bagi pengusaha untuk menaikkan barang, sehingga ada kenaikan inflasi, setelah sebelumnya mereka ‘terpukul’ karena naiknya premi asuransi.

Selain itu, meskipun tepat, Aviliani tetap memberikan beberapa catatan bagi pemerintah terkait kebijakan kenaikan TTL ini. Menurutnya, kebijakan pemerintah ini tidak terencana dengan baik sehingga mengagetkan dunia usaha. Seharusnya pemerintah berkonsultasi dahulu dengan berbagai pihak, terutama dunia usaha sebelum mengelurakan kebijakan ini.