close

INGIN  menikmati “steak” ayam di Banda Aceh? Hanya satu yang paling “mak nyusss.” Gunung Salju.  Ya, “restoran,” dalam tanda dua petik, “Gunung Salju.” Restoran  yang bisa memuaskan dan “meremas-remas” selera pengunjung. “Steak” nan lezat,  dan menjadikanya sebagai  ragam pilihan kuliner  Banda Aceh,  selain  mie Aceh, martabak telur dan “beu” gurih di kala pagi hari.

Hadir lebih dari tiga dekade, “steak ayam gunung salju” berangkat dari sebuah  “kios mini”  di sebuah gang sempit,   kawasan pecinan, Penayong, yang dikenal dengan sebutan Gang Mabuk. Dari sanalah bermula restoran  “Gunung Salju”  yang kini “meng”global”  sebagai kuliner yang  mampu mengiris selera lewat adukan  kuah dari campuran tomat, bawang merah, bawah putih, merica dan kecap manis yang dikemas sebagai saus untuk kemudian disiramkan ke piring cacahan ayam, timun, irisan tomat dan potongan kentang plus tambahan sayur salada.

Cacahan ayam yang mulanya diungkap,  kemudian digoreng dengan campuran tepung terigu dan meizena di tambah blenderan bawang merah dan bawang putih. Ayam  “kampung,” yang menurut W Afuk, sang pemilik, sebelumnya  di cabut tulangnya  dan dibuang kulitnya sebelum di cemplungkan  di belanga penggorengan.

Irisan rasa yang membuat pengunjung ingin kembali dan kembali lagi. Dan ketika kami datang di sore  gerimis itu, tak ada meja kosong yang tersisa. Dua keluarga yang berdiri  lebih awal di pojok di kaki lima pertokoan  Jalan Panglima Polem itu, terpaksa bersabar menunggu meja kosong. Dengan  sedikit gelisah satu keluarga sibuk  melirik dengan jelalatan pengunjung yang akan beranjak. “Tak apa-apa,” kata seorang pengunjung yang disapa oleh seorang pelayan untuk masuk saja.

Itulah sebuah episode antrian pengunjung  di restoran  Gunung Salju. Antrian yang hanya untuk se porsi  “steak” ayam. Steak yang sangat  khas Gunung Salju yang tak pernah mendegradasikan “taste”  selama 35 keberadaannya. Steak yang membuat para pekerja kantoran dan keluarga kelas menengah kesengsem.

Sebuah ekisistensi yang memelihara cita  rasa  secara konsisten yang sulit di lalui oleh kedai-kedai makan tradisionil. Yang seperti dikatakan pemiliknya, Wo Afuk, dengan sedikit berpromosi,”rasa sama, porsi tak beda tapi harga yang tak  …..”  Lanjutan gurau yang sengaja tak  ia teruskan.

Bermula dari warung kecil yang ia sewa  dari  hasil duit pinjaman di pojok Gang Mabuk, Penayong, “steak” ayam, yang oleh pelanggannya disebut dengan “bistik”  ayam, memang tak pernah bersalin rasa. “Masih macam dulu kan?” ujar Wo Afuk dengan tanya menggelitik kepada kami yang datang ke “restoran” miliknya di Jalan Panglima Polem, persis di sebelah kiri jalan masuk ke Hotel Sultan.

Sembari bergurau Wo Afuk mengatakan, “lumayan keren  tokonya kan!”  Maksudnya, ia mengingatkan kami tentang perbandingan kondisi  restorannya dengan tiga puluh lima tahun ketika kami menjadi pelanggan pertama. “Dulu cuma enam meja tak sepenuhnya terisi. Kini enam belas meja terpaksa mengantri,” katanya tergelak.

Bagi Wo Afuk, perbaikan penampilan  restorannya  memang sudah menjadi tuntutan zaman. Tapi soal rasa tak akan pernah mengalami pergantian, walau generasi sudah berganti.  Ia masih tetap mempertahankan rasa yang menggigit dengan aroma menyengat  serta  menjaga ke”orisinilan”nya. Sambalnya masih macam dulu. Air cabe dengan irisan bawang merah di tambah di tambah garam. “Masih pedas, coba jilat” ujarnya kepada kami sembari menceritakan  kepada pelayannya bahwa kami lah dulu, salah satunya, yang membuat “steak”  ayam Wo Afuk populer.

Menurut Wo Afuk ia tidak pernah mengubah bahan  racikan untuk “steak” ayamnya. “Tak ada yang berubah. Yang berubah itu waktu,” katanya berfilsafat. Sebagai  keturunan China yang taat  menggenggam ajaran moyangnya Wo Afuk tak ingin membuka cabang. Ia mengatakan rezeki itu tak perlu harus di serakkan sepanjang jalan.

Itu alasannya kenapa tidak membuka gerai baru.  Padahal banyak kawan-kawannya yang menyediakan modal untuk kerjasama.  Ia juga tak mau anak-anaknya berkutat dengan restoran “steak” ayam doang. Biarlah mereka mencari pilihan hidup sendiri-sendiri.

Restoran  Gunung Salju, menurut Fuk, sudah dikelola oleh anaknya. Ia hanya datang untuk melihat-lihat. Terkadang ia masih rindu mencacah ayam, menyiram bumbu di piring serta mengaduk-aduk kuah sausnya. “Saya rindu pada masa lalu ketika awalnya bekerja sendiri,” katanya dengan ringan.

Selain menjual “steak” ayam bersaus memikat, Gunung Salju masih menyertakan menu mie saus dan es krim. Baik mie saus maupun es krimnya juga belum berubah rasa. Mie-nya masih dengan rasa mendedah. Pedas sedikit manis. Sedangkan es krimnya masih tetap lezat.

Untuk menebus harga sepiring “steak” ayam Gunung Salju, pengunjung harus merogoh duit Rp 22 ribu. Kalau tambah es krim sediakan saja Rp 35 ribu. “Tidak terlalu mahal kok,” kata seorang pengunjung yang seminggu sekali di ujung pekan tetap singgah di restoran Wo Afuk.

Tags : gunung saljuslidesteak