close

Panorama Hatta. Itu nama yang dilekatkan untuk  sebuah bukit,  persis di puncak jalan melingkar Gunung Pintu Angin.

Lokasinya berjarak tujuh kilometer dari Tapaktuan, kota kabupaten di Aceh “ketelatan.” Ee..ehh.. Aceh  Selatan, arah perjalanan ke Medan.

Nama Hatta, wakil presiden pertama negeri ini, memang kental untuk dilekatkan dengan “pass” atau puncak gunung ini.

Di tapak puncak itulah, di sebuah bukit kecil yang bagaikan “park,”  dulunya,  di tahun 1953,  sang proklamator pernah singgah,  melepas penat ketika menjalani tetirah mengobarkan semangat membangun usai kemerdekaan.

Dan menurut Angku Pin, seorang tua di Banda Aceh, yang mengakui dirinya sebagai saksi sejarah,  Hatta pernah bersantap siang sebelum meneruskan perjalanan darat ke Medan.

Hatta, menurut Angku Pin, sempat menyalaminya memegang kepalanya dan berujar,”Peliharalah kemerdekaan ini dengan perjuangan kesejahteraan.”

Kalimat itu masing mengiang di telingan Angku Pin yang kini sudah sangat sepuh. Ia, yang ketika itu masih belasan tahun, memanjat sebuah jeep tentara untuk bisa bersama Hatta hingga ke puncak gunung itu.

“Semula saya di marah. Tapi saya teriakkan ‘merdeka’ dan si tentara tersenyum dan saya diperkenankan ikut,” katanya mengenang.

Menurut Angku Pin, ia juga tahu ketika sebuah rumah di bangun di sana.

Sebagai pengukuhan sejarah, usai Hatta berkunjung, pemerintah kabupaten Aceh Selatan membangun sebuah bungalow permanen, kini menjadi sebuah “hertage,” untuk mengenang kunjungan sang “founding father.”

Panorama Hatta, entah bagaimana bukit kecil yang kemudian di”cacah” atau diratakan, untuk kemudian di bangun sebuah rumah persinggahan, menjadi nama “hakikah”nya.

Tak ada yang tahu tentang sejarahnya. Cuma, di bundelan arsip peraturan daerah Aceh Selatan ditemui penetapan pembangunan sebuah rumah,  dengan biaya, kala itu seratus dua puluh ribu rupiah.

Catatan itu betahun register 1955. Yang berarti dua tahun setelah Hatta pernah menyinggahinya.

Pembangunan dikerjakan dengan swakelola oleh B-W atau PU  dengan “oppsiter” bernama Baharuddin.

Panorama Hatta memang menakjubkan. Dari bukit kecil di puncak Gunung Pintu Angin ini, pengunjung bisa mendapatkan dua sudut pandang

Kearah Tapaktuan dengan  lekuk teluk yang menghunjam ke pantai Batu Itam di sudut utara, dan pemandangan arah ke Medan yang mengiris  dari turam bukit curam Lhok Rukam hingga pantai Pasie Raja yang menekuk laut memanjang.

Pengunjung dimanjakan pula oleh desir angin yang ditepis oleh pohon pala dengan kehijauan daun dan kekuningan buahnya yang menyela dari ranting dahannya. Buah yang bergelantungan yang sulit diucapkan dengan kata-kata.

Di “park” bukit kecil itu, kini bangunannya telah bersalin rupa dengan arsitektur “rumoh” Aceh, kita masih bisa menikmati dengung mobil yang terkadang mecercit menaiki pendakian dari arah yang berbeda.

Tak percaya, saksikanlah liuk kenderaan itu melewati kaki gunung hingga ke pinggangnya yang kemudian melepaskan uap asapnya di puncak pendakian.

Di Panorama Hatta, kita bisa menikmati jagung bakar atau makanan ringan lainnya. “Heritage” itu kini juga difungsikan sebagai tempat mangkalnya pedagang makanan.

“Banyak orang yang melepas penat di sini,” kata Amrin, salah seorang penjual “mie” goreng di sana.

Saat berkunjung ke Panorama Hatta,, mampirkalah kenangan ketika ditahun awal kemerdekaan itu. Seorang pejuangnya ternyata masih meninggalkan jejak sejarah ketika berkeliling membakar semangat “merdeka.”

Persinggahan  Bung Hatta, saat ini kondisinya memang agak membaik. Dari sisi i perawatan  pemerintah kabupaten menyediakan anggaran. Ini berbeda jauh dibandingkan tahun-tahun “melarat” negeri “ketelatan” ini..

Saat itu, kondisi bangunan  nyaris rubuh.

Sekarang tempat  Bung Hatta pernah tetirah itu  terpajang foto-fotonya. Panorama Hatta,  kini  mulai ramai  dan menjadi pertanda ketika perjalanan persis berada di puncak gunung.

Mendadak para pedagang memadati puncak gunung ketika hari libur. Mereka menjual makanan. Bagi para pedagang,makanan hari libur memang menjadi  saat  yang ditunggu-tunggu. Dagangan mereka laris manis.