close
Nuga Travel

“Travelounge” ke Kepulauan Banyak (Bagian I)
Mencari Jejak Hilangnya Dunia Terapung

Pulau Sarok, di sebuah pagi, ketika mendung menggayut dan hujan pirang menyiram bak air peseujuk. Laut berjingkrak kegelian ketika angin liar menggelitik di tepian pantai Singkil itu, tempat speedboat yang akan menyeberangkan kami ke Kepulauan Banyak tertambat. Kami belum memutuskan untuk berangkat ketika keplak angin liar menampar pasir dan membuat kami  gelagapan  dan tabir debu  mendatangkan “rabun” di pagi itu.

Seorang kawan, anggota rombongan, mencerocoskan ketidaksetujuannya untuk menyeberang di ambang dhuha itu. Ia ngoceh sembari menyingkir dan kemudian ngumpet di mobil sembari menyerapahkan kegusarannya dengan kata sedikit melengking, ”nggaklah.”

Padahal ketika itu negosiasi kami untuk jadi atau tidaknya berlayar belum lagi final dengan sang pemilik kapal cepat, yang minta dirinya disapa dengan  panggilan keren, “Captain”.

Dengan berbisik dan mendekatkan telunjuknya ke bibir, Si Captain, kelak ditulis dengan huruf “c” bukan “k”, sedikit acuh tanpa menghiraukan ucapan bersungut seorang kawan tadi.

“Sebentar lagi kita berangkat. Ini musim timur yang ramah”, katanya sambil menunjuk langit barat dengan telunjuknya yang awan hitamnya telah berubah kelabu dan sedang dibasuh oleh cahaya matahari sehingga gumpalannya semakin menipis dan akhirnya menghilang.

Ombak, yang sebelumnya, kegelian digelitik gelombang hingga membentuk buih dan menghempas  ke pantai dengan bunyi “gedebuumm……” bagaikan tambur, kini terkulai.

Si Captain benar. Matahari dengan cepat menyingsingkan tabir awan dan Pulau Sarok mulai digigit panasnya cahaya. Laut pun menarikan pantulan sinar yang hilang timbul. Dan ini menjadi penyejuk bagi kami setelah sempat kecut melihat kaki langit nun jauh di tempat tujuan bergejolak liar.

Dan, kemudiannya, dalam pelayaran yang eksotik di ujung dhuha itu, setelah laut tenang dan mendung sudah pergi,  Si Captain yang banyak cakap itu bertutur dengan aksen Singkil berirama gemulai, perpaduan retorika Barus yang meliuk dengan intonasi  Jamee  yang tengkak, tentang “perkawinannya” dengan laut. “Laut ini istri pertama saya setelah jatuh cinta dua belas tahun lalu.”

Ya, Captain memang “suami laut” yang menjamu  kami di pelayaran penuh sensasi itu ketika pancing yang direntangnya di ekor perahu  menaikkan dua rambeu dan seekor kakap merah  sebesar paha ke atas speedboat. “Nanti kita panggang setiba di Pulau Balai, sebagai lauk makan siang,” katanya tergelak.”

Speedboat milik Captain kami dapatkan  usai menelepon seorang kawan, Abu Dardak namanya, yang sering kami hormati dengan panggilan akrab Mak Abu, anak Singkil asli, yang pernah menjadi pejabat di Aceh Selatan, sebelum Singkil membelah diri jadi kabupaten. Mak Abu yang mengakhiri tugasnya sebagai pejabat eselon dua di Pemkab Singkil mengingatkan kami untuk mencari speedboat kepunyaan Captain, yang bernama asli Anwar Abubakar, yang biasanya ngopi pagi di kawasan pasar.

Mak Abu juga memandu kami  dalam menegosiasikan  harga carter dan menganjurkan untuk  memulai pelayaran dari arah pasar, yang kemudiannya kami  sepakati dengan pemilik kapal lewat Pulau Sarok saja karena speedboat-nya sedang tambat di sana.

Tak begitu sulit bernegosiasi dengan Captain. Lugas, terus terang dan boleh menawar. Apalagi kami menumpangkan nama Abu Dardak yang rupanya tokoh beken di negeri Singkili itu.

Travel ke Kepulauan Banyak, begitu nama yang sebenarnya untuk menyebut sebuah gugusan pulau di lepas pantai Singkil itu, bukan Pulau Banyak, seperti yang jamak disebut, memang sudah kami kumandangkan sejak lama. Di antara rombongan kami terdapat dua teman dari Jakarta dan satu lainnya dari Medan. Semuanya ingin berpetualang mencari tempat avonturir yang tidak populis, tapi subhanallah indahnya.

Saya sendiri sudah beberapa kali ke Kepulauan Banyak, baik untuk tugas jurnalistik maupun untuk sekadar mengulang jejak travel. Di akhir tujuhpuluhan saya pernah tinggal di sana selama sepekan menggali kasus yang menjadi trending topic dunia kala itu, “Ujung Sialit Case”.

“Saya nggak tertarik dengan Wakatobi kok. Juga Raja Ampat maupun Labuhan Bajo. Destinasi itu sudah tercemar penyakit komersialisasi. Terlalu banyak mengisi ruang pamer media”, kata Sigit Haryanto, seorang eksekutif  puncak di sebuah grup media paling prestisius di Jakarta, tentang keinginannya bergabung dalam petualangan ini, setelah berbulan-bulan kami saling tukar informasi.

Sigit juga menularkan rencana ini ke sohibnya, seorang fund manager di Bursa Efek Jakarta (BEJ), dan memutuskan cuti bareng guna berpetualang ke negeri dunia terapung itu.  Sigit tak perlu saya beritahu banyak tentang Kepulauan Banyak. Ia sudah mendapatkan di website dan ditambah lagi setelah membaca klipping koran KOMPAS tulisan Bre Redana beberapa tahun lalu yang menuliskan dengan apik investigative report-nya tentang matahari timur dan sunset di pulau-pulau “surga” samudera tak bertepi itu.

Perjalanan ke Kepulauan Banyak memang tidak mulus. Itu mungkin yang menyebabkan keindahannya terisolasi oleh belenggu jarak. Seperti kawan-kawan kami  dari Jakarta harus terbang lebih dahulu ke Medan, untuk kemudian melanjutkan perjalanan darat yang melelahkan lewat Brastagi, Kabanjahe, Sidikalang dan Subulussalam. Baru kemudian melanjutkannya ke Singkil. Seperti rute yang kami tempuh hari itu.

Membutuhkan waktu tujuh jam, perjalanan normal,  untuk sampai ke Singkil. Bisa juga dari arah Tapaktuan, tapi tidak populer karena jarak tempuh yang lebih jauh bila datang dari Banda Aceh. Memang ada jalan pintas dengan menumpang pesawat kecil ke Singkil dari Polonia. Tapi flight-nya tidak terjadwal dengan sempurna. Dan kami memutuskan lewat darat karena bisa  dijadwal.

Untuk menyeberang ke gugusan Kepulauan Banyak yang jaraknya 26 mil laut dari daratan Singkil dibutuhkan waktu satu setengah jam kalau laut tidak bergejolak. Kalau laut lagi meriang perjalanan paling lambat dua jam.

Tarifnya? Terserah kita. Mau perorangan dengan kapal motor penumpang atau carter, seperti kami rombongan kecil  yang angkanya sewanya masih bersahabat,  Rp 1,5 juta sehari. Gugusan Kepulauan Banyak, yang awalnya berjumlah 99 buah pulau besar kecil, kini hanya tersisa 63 pulau, memang tak terpermanai indahnya.

Ketika speedboat kami berjalan melambat usai makan siang di Pulau Balai menuju Haloban di Pulau Tuangku, seorang rekan berteriak minta singgah lebih dahulu di Pulau  Sikandang, ketika Si Captain berzig-zag seusai kami melewati Pulau Baguk, yang dulu pernah menjadi tempat pengungsian usai tsunami. Di Pulau Sikandang, yang pantainya berpasir putih dengan  alat selam dan baju renang seadanya kami berjumpalitan untuk ber-snorkeling ria ketika boat ditepikan Captain.

Dalam perjalanan itu kami menepi di Pulau Biawak, menikung di Pulau Asok, melewati Pulau Lambodong dan terkesima melihat perkampungan di Ujung Sialit yang tertata rapi di bukit batu karang.

Captain tidak hanya cekatan dalam mengemudikan boat cepatnya, tapi juga seorang pemandu yang tangkas. Ia dengan ringan menceritakan pulau-pulau yang hilang dan berlabuh di atasnya sembari berkisah kenapa ia tenggelam, kapan kejadiannya dan di mana jejaknya. Jejak pulau yang hilang itu menjadi tema travelounge kami hari itu.

Jejak dari hilangnya Pulau Kucing sebelum tsunami, dan raibnya Pulau Malelo dan Pulau Gosong Sianjai pascatsunami. Hilangnya  potongan dunia terapung ini terus terjadi bersamaan dengan fenomena alam yang makin tidak bersahabat. Pulau Malelo dan Pulau Gosong Sianjai tenggelam bersama dengan  penurunan permukaan daratan setinggi dua meter pascatsunami.

Kini  pulau-pulau kecil yang permukaan daratannya rendah di gugusan Kepulauan Banyak sedang menghadapi meningginya permukaan laut. Sebuah gejala global warming dari mencairnya gunung es di kutub selatan sana. Sebutlah Pulau Sikandang, Pulau Baguk, Pulau Tailana, Pulau Matahar, Pulau Pabisi dan Pulau Dua  dan puluhan lainnya yang tergerus garis pantainya hingga menyisakan sejumput daratan menunggu “diambil” lautan. []