close
Nuga Travel

‘Kosmopolitan’ Ulee Lheue dan Swalayan Kugelmann

Sebuah bangunan milik seorang opsir KNIL di Ulee Lheue di pengujung abad lalu

Ulee Lheue di zamannya, penghujung tahun sembilan ratusan, memang “metropolitan” tulen. Tidak hanya de l’Europa, hotel pertama di Aceh, yang menjadi “trade mark” ke “kosmopolitan” nya, tapi juga ada swalayan “kugelmann” milik anak muda Jerman.

“Kugelmann” bukan sekadar toko kelontong di sudut kampung Aceh yang centangprenang

Ia benar-benar swalayan modern, ketika itu, dan mungkin juga untuk ukuran sekarang, dengan susunan barang menurut pengelompokan jenisnya di rak-rak yang sangat rapi. Swalayan ini, menurut catatan seorang opsir knil, letnan kolonel van Koeman, di ujung penanggalan setiap bulan diserbu para amtenaar dan opsir infantri KINIL.

Mereka mengosongkan isi raknya dengan memborong kebutuhan toilet, susu, makanan ringan hingga buah-buahan. Barang-barang itu, menurut catatan ringkas itu, berasal dari merek terkenal, produk perusahaan beken seperti kebutuhan toiletnya “unilever” ataupun milk bermerk “kraft” dan chocolate maupun permen “cadbury” yang didatangkan dari Malaka dan Singapura lewat kapal api milik perusahaan konnijklike paketvart maatschappij (KPM) yang lebih dulu menyinggahi “vrijhaven” di Sabang.

Sebagai swalayan, “kugelmann” tidak sendirian. Masih ada sebuah toko serba ada milik seorang Yunani yang langganannya para bintara rendahan dan marinir dari kapal-kapal api kelas tiga, pengawal kapal komando “Tromp,” yang biasa labuh berbulan-bulan di Ulee Lheue seusai patroli dengan misi ekspedisi ke Sigli, Lhokseumawe maupun Teunom dan Meulaboh di pantai barat.

Barang-barang di toko Griek itu hanya digeletakkan di lantai. Berantakan. Dan pembeli harus berputar-putar ataupun membongkar tumpukan di gang memanjang. Toko serba ada milik Griek ini tak lama keberadaannya akibat manajemennya kacau.

Ulee Lheue tidak hanya de l’Europa, kugelmann dan toko serba ada Griek. Sebagai “kosmopolis” ia memiliki sebuah rumah bordeel milik seorang Jepang yang tersuruk di hutan kelapa, yang lokasinya seputar kantor wilayah bea cukai sebelum tsunami, dengan perempuan sundal campur aduk.

Ada cina, jepang dan jawa yang berbaur melayani antrian pelanggan dari mulai “duda” berpangkat amtenaar pengawas hingga serdadu infantri rendahan yang menghabiskan pakansinya di Ulee Lheue, dan berfoya-foya menuangkan isi kantong gulden untuk menikmati manisnya madu “fuselir” dan terlelap dipelukan sang gundik dengan mulut menceracau sembari memeluk botol “win” murahan berbau menyengat.

Baik van’t Veer maupun Janfruchte tak menulis panjang tentang “japanse bordeel” ini. Keduanya hanya secara sumir mengungkapkan tentang denyut kehidupan dan lokasi keberadaan “japanse bordeel.”

Bangunan rumah bordeel itu bertingkat dua, sedikit muram, dan setiap tamu dipelototi penuh curiga di gerbang bordeel oleh centeng berotot. Untuk itu, Janfruchte dalam catatan hariannya menulis dengan mencibir “japanse bordeel” sebagai kotor dan sumber menularnya “siphilis,” penyakit kelamin, seperti halnya kawasan “zeedijk,” komplek pelacuran, di Amsterdam.

“Tapi pengunjungnya tak pernah sepi,” ungkap Janfruchte dalam beberapa alinea catatan hariannya yang diterjemahkan oleh Aboebakar, Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi (PDIA) Aceh, tahun tujuhpuluhan.

Sebagai komunitas plural di tengah kultur Aceh yang sakral, Ulee Lheue menjadi kota di “awan.” Ekslusif. Terasing. Untuk itu dalam sebuah risalah tentang daya tariknya menceritakan dengan asyik ketika “marine soceiteit” menyelenggarakan pertunjukan orkestra dengan mendatang artis-artis keroncong dari batavia. Berbondong-bondong “touris” Koetaradja datang dengan menaiki “tram” yang ritnya sengaja diperbanyak sketika digelar keramaian.

Van’t Veer mencatat, pertunjukan marine soceiteit sering diselenggarakan bersamaan dengan “de pasar malam” tahunan. Ia dengan rinci mencatat dalam tulisan bergaya reportase tentang jalan lingkar “boom” yang penuh dengan warung kaget dan “cafe” terkejut. Penganan lokal juga ikut meramaikan “de pasar malam” dan diserbu pengunjung yang hilir mudik sepanjang malam hingga menjelang subuh.

Bahkan kapal elektrik yang berlabuh di lepas pantai juga ikut andil menerangi lokasi dengan lampu sorotnya.

“Tidak selamanya sorotan lampu itu pas jatuh di area keramaian. Kadang bisa raib ataupun menerpa langit akibat ayunan ombak,” tulisnya van’t Veer secara apik penuh guyon.

Ulee Lheue tentu saja tidak berhenti dengan “de pasar malam.” Kota “pakansi” ini hakekatnya, adalah sebuah bandar. Pelabuhan. Untuk itulah, kemudiannya, Ulee Lheue lebih dikenal dengan dengan “boom” setelah terhubungkan dengan “tram atjeh” disepanjang lima kilometer yang menghubungkannya dengan Koetaradja.

Sebagai “boom” ia memiliki cerocok yang menjorok laut dengan seliweran rel lori menghubungkannya ke gudang-gudang besar di bagian tengah jalan lingkar pelabuhan.

Kapal-kapal dagang maupun kapal perang, dalam ukuran besar, umumnya berlabuh di lepas pantai. Tongkang atau sekocilah yang menghubungkan cerocok dengan kapal. “Suasana pelabuhan di pasca penaklukan Aceh lebih banyak dilabuhi kapal perang dengan tugas mengangkut tentara yang mengalami rotasi.

Sesekali Ulee Lheue dikunjungi kapal dagang dengan muatan logistik untuk mendukung kebutuhan tentara. Kapal dagang baru ramai berdatangan setelah terjadi perluasan wilayah di Aceh dan ketika Koetaradja dianggap sudah aman dari serangan gerilya,” tulis Zentgraf dalam bukunya “Atjeh.”

Jejak Ulee Lheue sebagai “metropole,” secara perlahan, mulai redup bersamaan dengan berhasilnya rekonstruksi Koetaradja, semasa gubernur sipil militer van Heutz. “Kamp konsentrasi dibubarkan dan pendekatan militerisme yang keras, khusus di Koetradja, juga dilonggarkan.

Penguasaan Belanda atas Aceh Besar dianggap sudah selesai,” tulis almarhum Ridwan Aswad, pemerhati sejarah di Banda Aceh, dalam sebuah artikel lepasnya tentang redupnya “kosmopolitan” Ulee Lheue.

Menurut Ridwan Aswad, Ulee Lheue, semasa van Heutz di difungsikan sebagai “bandar,” kota pelabuhan. Kiprah kota pelabuhan inilah yang terus di sandang Ulee Lheue hingga hingga melewati abad dan terkapar seusai berakhirnya Sabang sebagai “vrij haven” di akhir 1970-an, ketika banyak orang mengingat masa meraup rezeki bersama buruh jasa antar pulau,“jengek.”

Buruh yang mengatasnamakan dirinya untuk pedagang dengan membawa barang impor eks Singapura lewat pelabuhan bebas Sabang..

Tags : slide