close
Nuga Travel

Aroma “Plural” Kari Dari “Little Hindi”

Little India, usai Isya, Selasa, pekan ketiga September. Tak ada yang berubah dari enklaf “India Kecil” di pojok Georgtown itu. Masih ada suara “nehi-nehi.” Masih ada roti cane dan masih ada kenikmatan kari dengan briani sebagai kuliner wajib masakan “mamak,” sebutan untuk India Muslim di Malaysia, yang meninggalkan aroma wangi di langit-langit dan ujung lidah kami.

Malam itu, hari kedua kami di Penang, Hari kedua pula saya bertemu kembali dengan Mister Chow, teman cultural kami sejak tiga puluh lima tahun lalu. Dan saya ke Penang juga atas permintaan Chow, Cina Hokian, yang telah menjalin persahabatan dengan kami bak “laik”nya saudara.

Dengan logat Cina Melayu, karena istrinya seorang asal Mandailing yang lahir den besar di sudut Georgtown, Chow tak putus-putusnya menggoda kami dengan tanya,”Enak tak karinya?” Saya mengangguk dan mendecakkan mulut sambil menghembus aromanya dan membuat Chow tersenyum sambil mengacungkan jempol.

Malam itu saya datang lagi ke kedai Shakar Khan, India Madras, yang sudah menjadi “trademark” masakan kari di “little india.” Saya tak tahu apakah ia memiliki hubungan turunan dengan Sakhruk Khan. Tapi, sejak tahun terakhir saya “takziah” ke kedainya, ia selalu bangga menceritakan bintang film “bollywood” itu dengan segala macam tetek bengek asesoris akting beserta film yang ia bintangi.

Tiap kali berkunjung ke kedai Shakar dan menikmati kuliner kari dengan bumbu nyaris sempurna itu, memori saya meleleh ke Haji Di Moerthala, seorang Aceh paling terkenal di era enam puluhan, tujuh puluhan dan delapan puluhan awal sebelum ia berpulang akibat sakit ginjal.

Di Moer, begitu banyak orang menyapanya, seorang pengusaha HPH yang melambungkan Persiraja sebagai Juara PSSI di tahun 1981, membawa kami ke komunitas Georgtown yang kemudian membuhulkan persahabatan dengan Chow serta mengikat selera kari dengan keluarga Shakar.

Kalau kami di”gaet” Di Moer sebagai “apet”nya ke Kuala Lumpur, kami pasti menyempatkan singgah di Penang sembari menikmati kenangan manis pengusaha Aceh yang membangun bisnisnya dari pulau itu setelah Sabang bangkrut.

Malam ketika kami datang, Shakar Yunior, masih merapikan dagangannya. Ia, seperti biasanya, mirip dengan sang ayah, Shakar Senior, selalu menggoda pengunjung dengan tawaran kari special dengan harga satu porsi mencapai 60 ringgit. “Kalau standar tak nikmat-lah,” ujar menggoda dalam dialek melayu yang masih beloptan aksen “hindi”nya.

Kalau sudah ngoceh, Shakar sulit dihentikan. Biasanya Chow mengeraskan suaranya untuk menganulir ocehan ngelantur Shakar. Dasar India, ia tak peduli dengan perasaan orang yang menjadi langganannya.

Masakan “mamak” untuk sapaan India Muslim di Malaysia memang sensasi rasa. Bumbunya yang komplet dengan semua rempah dan ditambah kepedasan dan rasa asam yang menjalar menjadi klop dengan sepiring nasi briani ditambah acar nenas irisan bawang.

Georgtown dengan “little india” adalah bagian dari pluralism Penang yang dihuni oleh ragam anak bangsa, yang didominasi puak Cina dengan unsur melayu yang terbatas. Penang, menurut Chow, adalah sebuah negara bagian yang memiliki puak melayu dan muslim yang terbatas.

Tapi jangan kesampingkan peran ketokohan melayu yang diproduksi dari Penang. Sebut saja Abdullah Badawi, Anwar Ibrahim atau Tengku Abdurahman yang merupakan “trademark” intelektual Melayu yang mengisi khazanah kepemimpinan di Kuala Lumpur.

Bahkan dari Penang juga lahir seorang seniman besar Malaysia P Ramlee, peranakan Aceh-Melayu, yang dipahatkan sebagai symbol kehebatan lagu dan film di negara itu, yang menyebabkan kiblat seni Indonesia berpaling ke sana di era limapuluhan.

P. Ramlee, anak Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh dan Chek Mah asal Kubang Buaya, Butterworth, lahir di Penang dan menebar karir di Kuala Lumpur hingga tutup usia di tahun 1973.

Penang, yang saya tahu, setelah berkunjung berulang-ulang adalah sebuah kemajemukan sejati. Ada kesadaran antar puak yang menjadi ikatan bahwa mereka datang ke sebuah pulau untuk hidup tanpa membawa egoisme dan membangun identitas masi-masing dalam kebersamaan.

Di Penang, terutama Georgtown, yang kini menjadi “kota dunia” dengan ditetapkannya kawasan itu sebagai “heritage global” oleh UNESCO, terpancang sebuah semboyan tanpa ditulis, bahwa kesetaraan adalah milik semua orang dan membangun identitas tidak menjadi masalah sepanjang ia disertai penghargaan yang tulus.

Di Georgtwon, seperti yang dikatakan Chow, tidak ada pelemparan gereja, tidak ada perusakan mesjid dan tidak ada penentangan untuk orang-orang yang ke pagoda atau kuil. Semuanya memiliki kesetaraan. Lihatlah Masjid Kapitan Keling yang dimiliki oleh muslim India, Pakistan, Turki, Arab, Indonesia dan Melayu secara bersama.

Masjid ini dibangun tahun 1801 dengan mengambil gaya bangunan “moghul” dengan memindahkan arsitek Taj Mahal ke dalamnya. Masjid ini paling besar, paling indah dan melambangkan kerukunan Islam disesama anak muslim dunia.

Kemegahan bangunannya, setelah berumur lebih dua ratus tahun masih menyisakan kehebatan aristeknya. Ketika kami shalat zuhur di sana, di September lalu, masih terasa aura kepemilikannya yang melintasi ras dan state. Masjid Kapitan Keling memang milik dunia.

Begitu juga dengan Gereja Saint George yang dibangun sebagai penghargaan tertinggi bagi Franchis Light yang letaknya berhampiran dengan benteng terbesar di Penang, Fort Cornwellis. Dari benteng itu, Saint George hanya berjarak 300 meter dan kami tempuh dengan berjalan kaki.

Dengan gaya bangunan Georgian Paladium, gereja itu tidak saja anggun tapi memesona dan pembangunannya memang dipersiapkan untuk sebuah masa yang panjang sehingga ia tak mampu ditaklukkan zaman. Kini gereja itu menjadi salah satu ikon Georgtown, kota lama Penang, bersama dengan Masjid Kapitan Keling, bersama Pagoda Dewi Kuan Yi bersama Kuil Khoo Khong Si.

Di kawasan itu masih ada Kuil Teochew, yang ketika kami ke sana bersama Chow keesokan harinya, dan tak jauh dari sana masih hidup perajin ukiran papan nama yang berusaha bersama komunitas pembuat benag emas dan songkok arab.

Ya, sebuah harmoni kehidupan yang khas Penang dengan masing-masing etnis bertahan dengan identitas dirinya tanpa merasa lebih unggul dengan milik orang lain. Ya hari itu kami kembali diingat bagaimana Penang, terutama Georgtown masih seperti dulu ketika ia menjadi “rumah” untuk semua orang.

Tags : slide