close
Nuga Tokoh

TA Sakti, Lelaki Yang Menggenggam Hikayat Dijari-jari Memorinya

TA Sakti. Begitu lelaki baya bernama “hakikah” Teuku Abdullah itu disapa. Lelaki, yang hingga di usia senjanya, masih menggenggam budaya hikayat di” jari-jari” memorinya. Dan ia selalu menggumamkan janjinya tentang ketidakinginannya melepaskan “warisan” kultur oral “indatu”nya itu di “kerentaan” fisik, yang kini, membalut sisa usianya

Ia ingin membawanya “kekayaan” moyang ke ujung ke“mati”an, setelah membagikan ke banyak orang. Dan ia memang telah membagikan “khazanah” dalam bentuk penulisan. Tiga puluh tiga buku telah ia sumbang bagi “menghidupkan” salah satu tonggak “kekuatan” anak negerinya dalam menggerakkan perlawanan memerangi “kaphe.”

TA Sakti adalah lelaki, yang kini, berjalan di keremangan “senja” usia. Ia telah melewati jalan panjang kehidupan ketika “hikayat” dipinggirkan dan tidak lagi menjadi pilihan budaya di lingkungan ke”aceh”annya. Hikayat, sebagai “sub-kultur” seni oral telah dipinggirkan oleh “megalomania” kehidupan seni “hedonis.”

TA Sakti tidak harus “menepi” bersama “hedinisme”itu. Ia tetap bergulat dal;am “keyakinannya bahwa “hikayat” adalah kekuatan “dahsyat” yang pernah datang di sebuah dekade sejarah. Kekuatan ketika “hikayat prang sabil” menjadi “induk” perlawanan terhadap “kaphe” kolonial. Dan hikayat, bagi TA Sakti adalah sebuah “relegi” yang bersambung antara Aceh secara kultural dengan Islam sebagai keyakinan.

TA Sakti. Saya mengenalnya di sebuah hari di awal tahun tujuhpuluhan. Penaggalannya saya tidak bisa mengingatnya. Yang saya tahu, di samping Balai Teuku Umar atau dikenal dengan nama BTU, dan dulunya merupakan gedung “societet” untuk elite “holanda,” ia setiap hari hadir sebagai “pengamat” di tengah komunitas “perkoranan.”

Di bawah “bak me,” pohon asam jawa, Sakti menitipkan buku kecil stensilan di kios-kios penjual koran. Buku kecil itu berisikan penggalan “hikayat” di atas tatahan ketikan kertas “stensilan.” Kertas murahan yang ketika itu harga satu “rim”nya hanya sepiring mie “simpang lima” Haji Umar.

Sakti, ketika itu memang sedang memulai percintaannya dengan “hikayat.” Percitaaan yang tidak hanya dikukuhkan lewat sentuhan oral, tapi mengenalkannya lewat penularan dalam bentuk tulisan. Ia menempuh jalan “penularan” ini untuk bisa meninggalkan warisan tertulis. Ia tahu penularan dalam bentuk “oral” akan punah bersamaan dengan munculnya proses akulturasi budaya yang mem”barat”kan manusia Aceh.

Budaya tulis untuk menyisakan jejak sejarah “hikayat” ini ternyata, setelah tiga puluh berlalu,benar adanya. TA Sakti, hari itu, hanya bergumam tak ada yang salah dari pilihannya untuk “menuliskan hikayat” dalam bentuk buku.

AT Sakti, dikemudiannya, saya kenal kembali lewat kolom mingguannya di sebuah media lokal. Di media itu saya menjadi bagian dari proses kelahirannya. Saya kembali dekat dan sangat dekat dengannya lewat seorang teman bernama Ameer Hamzah, yang juga datang dari duik negeri ini, dan ter”gila-gila” dengan “hobi”nya TA Sakti.

Sakti dan Ameer berasal dari almamater yang berbeda tapi menyukai studi yang sama. Dari Ameer pula saya tahu TA Sakti sudah mengalihaksarakan 33 judul hikayat dan beberapa naskah tua lainnya. Lebih kurang 22.000 buku saku telah dicetaknya.

Atas kegigihannya melestarikan hikayat Aceh, dia pernah mendapatkan Bintang Budaya Parama dari Pemerintah Indonesia di era Presiden Megawati. Dia juga mendapatkan Kehati Award 2001 kategori ”Citra Lestari Kehati” berkat kumpulan hikayat bertema lingkungan hidup yang diterbitkannya. Hikayat-hikayat itu adalah Wajeb Tasayang Binatang dan Binatang Ubit Kadit Lam Donya.

Sejak beberapa tahun terakhir, TA Sakti beristirahat mentransliterasi hikayat karena kondisi fisiknya semakin lemah. Selain sakit akibat kecelakaan, dia juga menderita diabetes. Kedua matanya juga menderita katarak dan baru saja dioperasi. ”Sekarang saya sedang terapi diabetes dengan berdiang di api, tidur di atas balai dengan bakar arang kayu dan batang dadap,” katanya suatu hari ketika didatangi seorang wartawan media cetak terkenal Jakarta.

Sakti yang saya kenal sejak dekade tujuhpuluhan dengan produksi buku saku “hikayat” kertas stensilan tak pernah lelah merawat “kultur” moyangnya. Ia tidak hanya mendatangi kios-kios menitipkan bukunya, yang terkadang hasilnya “apes” tapi juga menerabas kolom-kolom budaya surat kabar lokal dengan isian tulisannya.

Ia, seperti kata seorang teman, termasuk lelaki “batat” untuk mendapatkan “space” agar tulisan “hikayat”nya bisa berada di sana. “Terkadang menjengkel. Tapi itulah Sakti. Ia tak peduli dengan sentilan “kuno” untuk mendapatkan “ruang,” ujar sang teman dengan geli.

Ia juga sering bercerita ke banyak orang tentang obsesinya terhadap naskah Aceh yang hanya disimpan di museum Belanda dan ingin dialihaksaranya. Ia ingin menulis ulang Hikayat Aceh dan Hikayat Raja-raja Pasai yang aslinya dalam bahasa Melayu dengan huruf arab pegon ke huruf Latin dalam bahasa Indonesia populer.

Sebenarnya ia ingin meluruskan sejarah Aceh menurut jalan terang yang ia yakini. Ia tahu “jargon” tentang betapa “subjektifnya sejarah. “Sejarah adalah soal siapa yang berkuasa,” yang berkuasa katanya disebuah pertemuan kami yang saya lupa waktunya.

Dan narasi-narasi besar biasanya berisi propaganda penguasa yang menggambarkan kemegahan dan keindahan semata. Teuku Abdullah gigih membangun narasi dari hikayat-hikayat dan naskah-naskah pinggiran yang selama ini kerap dilupakan.

Diakuinya, banyak kitab telah mengisahkan kebesaran Aceh masa lalu. Misalnya, dalam Kitab Bustanus Salatin atau Taman Para Raja yang ditulis Nuruddin Ar Raniry tahun 1636 disebutkan tentang Kesultanan Aceh seperti taman dunia karena saking megahnya. Era Kesultanan Iskandar Muda kerap disebut sebagai puncak kebesaran itu di mana pemerintahannya digambarkan makmur dan syariat agama dijalankan.

Bagi Teuku Abdullah, yang mentransformasi pengetahuannya terhadap sejarah modern, masa lalu Aceh tidak sepenuhnya elok. Buku-buku sejarah, terutama yang pernah ditulis oleh Ali Hasjmy, seorang sejarawan Aceh yang juga mentornya ketika menempuh pendidikan di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Ranniry, Darussalam dikritiknya sebagai penuh puja-puji.

Sejarah Aceh, bagi TA Sakti, tidak seluruhnya indah. Ada intrik. Ada perpecahan. Ada “kudeta” di internal istana. Dan ada demoralitas.. ”Setidaknya itu yang saya baca dari beberapa hikayat,” katanya di lain kesempatan.

Di rumahnya yang kecil, bersahaja dan tegak disebuah lorong sempit di Tanjoeng Selamat, Darussalam, Banda Aceh, bertumpuk buku-buku dan kertas yang banyak penulisannya belum selesai. Dosen sejarah Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,memang banyak menyimpan naskah tua lewat perburuannya berpuluh tahun menghimpun jejak sejarah Aceh melalui hikayat.

Kini, seperti yang saya dengar sari Ameer Hamzah, kondisi fisiknya semakin rapuh. Kakinya yang pernah patah akibat kecelakaan membuatnya tertatih-tatih saat berjalan. Tapi jangan tanya semangat dan kegigihan. Aura ini akan menguat saat dia mulai bicara soal hikayat dan naskah-naskah lama Aceh.

Dari mana Sakti membiayai ongkos “hobi” sekalgus profesinya ini? Ia mengatakan dari “eumpang peng” sendiri. ”Saya tulis, saya cetak dan saya jual sendiri dengan harga karena saya tidak hidup dari sana. Tujuan saya hanya untuk pelestarian hikayat,” katanya katanya dilain kesempatan.

TA Sakti amat-amat menyadari hikayat telah memasuki masa “purna wira.” Sudah melewati masa akhir. ”Orang lebih suka menonton televisi yang hedonis. Dan Aceh akan benar-benar kehilangan hikayat benar-benar hilang kalau tidak disentuh tangan midas.”

Katika pertanyaan datang dengan sekali serga, apa pentingnya hikayat? Sakti hanya bisa tertegun. Sebagai sastra rakyat, ia ditulis oleh orang biasa atau kadang anonim. Tak hanya berupa puja-pujian terhadap penguasa, ia juga menguatkan pesan tentang nasihat-nasihat agar orang berbuat baik.