close
Nuga Tokoh

“Gerilyawati” Tari

BICARANYA cepat. Nada nyaring. Tapi  kontur suaranya jelas intonasinya.

Sikap santun dan terbuka dengan lawan bicaranya. Yang asik lagi ia bertubuh langsing, kulit kuning langsat.

Dengan baju kembang warna biru, sepatu hak tinggi, dan rambut sebahu, Said Muchsin, koleganya sesama alumni institut kesenian jakarta datang berbincang dengannya.

Dengan Nungki Kusumastuti. Nungki yang  penari, dosen tari, dan bintang filem terkemuka Indonesia.

Bincang-bincang itu berlangsung di ruang dekan tari  kampus IKJ komplek Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat lalu.

Ketika Muchsin datang alumni pertama Antropologi Tari dari Universitas Indonesia ini sedang menyiapkan tesis doktor untuk Sejarah Tari.

Mari kita mengenal lebih dekat Nungki yang kelahiran Aceh dan mantan Wakil Dekan Fakultas Seni Tari IKJ ini.

Suatu hari di tahun 1978, Nungki Kusumastuti, bersama Didi Petet, diajak sekumpulan mahasiswa tingkat akhir Sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta} yang kemudian menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk ikut berperan sebagai pemain utama dalam filem pendek berdurasi hanya 7 menit.

Filem ini sebagai syarat ujian akhir Sinematografi. Nungki yang dikenal sebagai primadona kampus dan Didi Petet yang ganteng dengan perawakan gempal menerima ajakan tadi.

Nungki mahasiswa Akademi Seni Tari, dan Didi Petet dari Akademi Teater (Drama).

Pada hari ujian praktikum, penguji sutradara terkemuka Indonesia Syuman Djaya dan Teguh Karya menanyakan pada Said Muchsin dan Yoyok, apakah boleh kedua pemain filem pendek ini diajak bergabung dengan mereka?

Jawabannya tentu saja, “boleh, karena dalam filem pendek yang tak ada honornya saja keduanya bersedia, apalagi di filem yang disutradarai tokoh besar perfileman.”

Akhirnya memang terbukti. Nungki bermain dalam filem-filem karya Teguh Karya, namun Syuman gagal mengajak Nungki dalam film Kartini.

Didi Petet dan Nungki kemudian dikenal luas sebagai pemain filem kawakan Indonesia sejak 1978 hingga saat ini. Diantara filemnya adalah November 1928.

Menjadi pemeran utama dalam filem sutaradara Slamet Rahardjo, Rembulan dan Matahari (1979), Jendela Rumah Kita, bintang tamu sinetron Losmen. Lebih dari 20 filem yang diperankannya.

Nungki sempat berhenti dalam dunia filem tahun 1983. Padahal tahun 1883 itu merupakan puncak dari Nungki. Ia dinominasi sebagai pemeran utama terbaik.

Dirinya juga sedang mendapat tawaran main filem dari sutradara ternama Indonesia. Dirinya menyatakan berhenti sementara di filem untuk mendalami tari.

Dan citanya-citanya yang lain adalah ingin keliling dunia dengan ilmu tari yang didalaminya. Nungki kemudian mulai berkunjung ke Amerika, Eropa dan Asia, Afrika dan Australia dalam memperkenalkan seni tari Indonesia.

Dan memang patut diakui, dunia Nungki yang sesungguhnya adalah seni tari. Filem merupakan jembatan kedua dalam seni peran.

Dunia filem menjanjikan popularitas dan juga materi yang cukup memadai. Keduanya jadi sejalan bagi Siti Nurchairani Kusumastuti yang sehari-hari dipanggil Nungki Kusumastuti.

Terlahir dari ibunda Siti Rektorini (84 tahun) dan ayahanda almarhum dr Sayid Warsito. Merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Lahir di Banda Aceh, 29 Desember 1958. Yang tertua almarhumah Prahmanati. Kedua Ratna Satiani, ketiga Esti Andayani (diplomat karir), Nungki Kusumastuti, dan terakhir Sayid Agung Wardoyo.

Nungki sudah mengenal dunia tari sejak berusia 5 tahun. Kedua orangtuanya yang sangat demokratis merupakan penggemar kesenian. Ayahandanya menganjurkan anak-anaknya belajar kesenian apa saja, boleh musik, boleh seni tari.

Lalu Nungki yang dilahirkan di Banda Aceh 29 Desember 1958 mulai belajar seni tari di Aceh sejak Taman Kanak-Kanak hingga di Banjarmasin, Kalimantan. Ayahanda mendatangkan guru privat ke rumah.

Di Jakarta dia melanjutkan kursus tari saat menginjakkan bangku Sekolah Dasar. Setelah naik kelas tiga ia mulai dimasukkan ke sanggar tari. Dari sini seni tari sudah jadi hobby Nungki.

Setamat Sekolah Menengah Atas (SMA) belum terpikir untuk masuk sekolah tinggi tari. Nungki awalnya berminat mendalami ilmu hukum di Universitas Padjadjaran. Dia tak berminat masuk Universitas Indonesia.

Namun harapannya pupus. Nungki diterima di UI namun tak diterima di Unpad. Akhirnya dia mendaftar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kemudian berubah nama menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada gelombang kedua dan diterima di Akademi Seni Tari LPKJ tahun 1977. Nungki lulus D3 sebagai penata tari, dan lulus S1 sebagai pemikir tari.

Program S1 Tari ini merupakan wujud kerja sama antara IKJ dengan Universitas Indonesia.

Seni tari memang belum bisa menjanjikan materi yang memadai di Indonesia. Orangtuanya sempat bertanya, “Kamu mau masuk sekolah tari, itu mau jadi apa?”

Nungki menjawab bila dirinya ingin menjadi penari yang bagus, dan menjadi pemikir tari dalam aspek kebudayaan.

Ayahandanya mengizinkan dan coba lihat dulu dalam setahun pertama. Ternyata Nungki keterusan. Ia menjiwai seni tari dalam bentuk kajian keilmuan dan seni.

Menurut Nungki, seni tari dalam aspek budaya suku dan bangsa mengandung nilai toleransi, disiplin diri, gotong royong, percaya diri, dan jauh dari kesombongan.

Lihat saja ada gerakan menyembah dalam tari sebagai wujud menghormati sesama manusia dan alam serta Tuhan. Dalam tari ada suasana menghibur jiwa dan batin serta mata.

Ditambah alunan musik yang menghibur kuping.

“Semua nilai dalam kehidupan ada dalam tari,” ujarnya.

“Dan para tokoh dalam tari itu ada yang baik, jahat, maupun abu-abu. Itu sebabnya penari itu juga berbakat untuk bermain drama dan film karena perwatakan sangat penting dalam menari, selain alunan gerak,” tambahnya.

Nungki juga bertekad, melalui seni tari yang dikuasainya ingin menjelajahi dunia, menyaksikan aneka ragam seni tari langsung dari negeri asal penari.

Cita-citanya itu terwujud. Hampir seluruh dunia dikunjunginya sebagai duta budaya bangsa Indonesia. Ia sudah melawat ke Amerika, Eropa., Asia, Australia dan Afrika.

Dan sebagai pemikir tari, Nungki kini telah meraih S1 Seni Tari di Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Indonesia. Belum cukup, ia lalu mengambil S2 Antropologi Tari di Universitas Indonesia.

Kini Nungki yang tampak awet muda 15 tahun dari usianya sedang menyiapkan tesis doktor Sejarah Tari. Seni tari, seni peran, filem adalah bagian dari acting (seni peran).

Nungki mencintai dunia acting. Ia memfilosofikan seni tari dalam wadah penjiwaan yang total. Adalah tepat bila dikatakan ibu dari Nuriska Aliya Hapsari dan suami yang alumni ITB Ir. Febrimansyah Lubis ini awet muda.

Penulis : Said Muchsin, Editor Senior “nuga.co.”

Tags : slide