close
Nuga Tekno

Tautan di Facebook Bakal Lebih Cepat

Mulai hari ini, Kamis, 03 Agustus, seperti dirilis di blognya, Facebook  meningkatkan kinerja pada News Feed atau linimasa layanannya.

Layanan yang didirikan Mark Zuckerberg itu sesumbar bahwa pengguna tak perlu lagi menunggu lama untuk memuat alias loading tautan pada News Feed. Tak disebutkan kecepatannya bakal meningkat berapa persen.

Yang jelas, Facebook mengidentifikasi beberapa faktor yang membuat loading tautan pada News Feed terasa lama.

Yang paling umum adalah kondisi jaringan selular pengguna dan kecepatan umum sebuah situs untuk merespons pengunjung.

Nah, dua masalah itu ditangani dengan strategi pengaturan News Feed oleh Facebook

Situs-situs yang berat akan ditunda kemunculannya pada News Feed pengguna ketika kondisi jaringannya tak mendukung.

Sembari mendahulukan situs-situs yang ringan, Facebook bakal otomatis memuat situs-situs berat sebelum pengguna bertemu tautannya dan mengkliknya.

“Cara ini bisa mempersingkat waktu loading hingga dua puluh lima persen,” begitu tertera pada blog resmi Facebook.

Pembaruan ini bakal berlaku secara bertahap dalam beberapa bulan mendatang. Di satu sisi, pembaruan ini bisa membuat pengalaman pengguna Facebook lebih nyaman ketika menggulir News Feed.

Tapi di sisi lain, ini bakal merugikan penyedia situs.

Terlebih jika situs mereka memang menyimpan konten yang berat.

Lantas, bagaimana solusinya?

Facebook mengajak para penyedia situs untuk meningkatkan performanya untuk versi mobile melalui beberapa tahap yang bisa diintip di tautan ini.

Untuk Anda tahu,  Facebook saat ini disesaki lebih dari dua miliar pengguna aktif bulanan atau monthly active users.

Angka itu lebih besar ketimbang total penduduk China, Amerika Serikat, Meksiko, dan Jepang jika dijumlahkan.

Menurut laporan penelitian dari The Centre for Research in Education and Educational Technology, ada alasan Facebook begitu digandrungi dan sulit ditinggalkan, walau di dalamnya terkadang menghimpun pesan-pesan kebencian.

Jika merujuk pada tujuan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, platform tersebut sejatinya bertujuan memberikan kekuatan bagi khalayak untuk membangun komunitas dan membawa dunia lebih dekat.

Caranya dengan menghubungkan semua orang di seluruh penjuru dunia dengan memanfaatkan internet, tanpa ada halangan jarak dan waktu.

Tapi, kenyataannya Facebook menunjukkan bentuk yang lebih kompleks dari tujuan ideal Zuckerberg.

Survey dari CREET yang melibatkan lebih dari seratus pengguna Facebook menunjukkan fakta unik.

Mayoritas pengguna Facebook tetap menggunakan platform tersebut dan terkoneksi dengan orang-orang yang sering membuat mereka kesal atau tersinggung seperti  yang dilaporkan TheNewxtWeb.

Dengan kata lain, Facebook merefleksikan dinamika perasaan dan emosional atas hubungan manusia dengan sesamanya.

Terkadang semakin manusia membenci seseorang, semakin cinta dan ingin rasanya mengetahui hal-hal yang dilakukan orang itu.

Inilah salah satu alasan yang membuat seseorang susah untuk lepas dari Facebook.

Hal-hal yang kerap membuat seseorang tersinggung adalah postingan teman yang mengutarakan opini ekstrem atau pendapat politik yang kuat.

Misalnya berkaitan dengan rasisme, homofobia, atau pandangan politik.

Selain itu, sindiran-sindiran tanpa tujuan alias no mention di Facebook juga kerap membuat orang-orang di Facebook tersinggung.

Misalnya si A menyindir orang-orang yang oversharing di Facebook, maka sejatinya si C, D, E, F, G, hingga Z, berpotensi tersinggung dan merasa merekalah yang disindir. Padahal, belum tentu demikian.

Istilah oversharing sendiri merujuk ke orang-orang di media sosial yang terlalu rajin membagikan momen-momen keseharian atau promosi diri.

Indikator untuk orang yang bisa disebut “oversharing” ini tak jelas dan sangat relatif, sehingga siapa saja bisa menganggap orang lain oversharing atau merasa terkena sindiran oversharing.

Pengguna yang kadung membenci orang tertentu di Facebook lebih sering berlaku sebagai pengamat tak bersuara alias silent watcher. Ia rutin melihat postingan orang yang dibenci, tapi tak mau berkomentar atau memberikan reaksi lain.

Menurut penelitian CREET, ada beraneka faktor komunikasi yang diakomodir Facebook sehingga menciptakan kompleksitas cara berkoneksi di platform tersebut.

Salah satunya, Facebook memungkinkan kita terhubung dengan orang-orang dari latar belakang dan dunia berbeda.

Kerap kali pengguna tak cuma terkoneksi dengan orang yang dia kenal di kehidupan nyata, tapi juga dengan temannya teman, orang populer, atau orang random yang tiba-tiba mengajak berteman. Intinya, ada banyak perbedaan yang terhimpun dalam satu ruang.

Ketika memposting sesuatu di Facebook, Anda pun tak bisa memastikan siapa saja audiens yang melihatnya. Ada yang berlaku sebagai silent watcher dan diam-diam tersinggung atau kesal dengan postingan Anda.

Orang yang tersinggung kemudian juga curhat no mention di Facebook, lalu ada lagi orang lain yang akan tersinggung.

Hal ini terjadi berulang-ulang dan menjadi siklus yang meluas, sehingga Facebook tampil sebagai platform penebar kebencian dan saling berbagi rasa tersinggung.

Faktor lainnya, berkomunikasi di Facebook bersifat tunggal untuk semua orang, berbeda dengan komunikasi di kehidupan nyata.

Contoh simpelnya, Anda akan bersikap dan berbicara dengan gaya berbeda ketika berhadapan dengan orang tua, teman main, rekan kerja, bawahan, serta atasan.

Nah, di Facebook, postingan Anda merujuk ke bentuk Anda sebagai seseorang yang tunggal.

Padahal, audiens Facebook Anda juga beragam dari mulai orang tua, bos, hingga teman-teman.

Alhasil, orang-orang bisa berkomentar “si A beda di kehidupan nyata dan di media sosial”.

Terlepas dari berbagai faktor dan keruwetan komunikasi di Facebook, platform itu toh tetap mendominasi ruang maya. Popularitasnya terus berkembang meski banyak dicela karena menjadi ladang saling sindir.

Menurut penelitian CREET, tak ada narasumber yang mengurangi intensitas mengunjungi Facebook karena merasa tersinggung atau kesal dengan postingan orang-orang di dalamnya.