close
Nuga Tekno

Merebak Tren “Artificial Intelligence”

Kecerdasan buatan atau dikenal dengan artificial intelligence, atau pun AI, tengah menjadi topik hangat di kalangan perusahaan teknologi dunia.

Beberapa bidang diperkirakan akan mendapat manfaat dari penerapan kecerdasan buatan.

Salah satunya adalah bidang kedokteran.

Kecerdasan buatan disebut mampu menganalisis sejumlah besar data yang memungkinkan dokter melakukan studi, diagnosis, dan pencegahan suatu penyakit.

Seperti ditulis World Economic Forum, teknologi ini diyakini mampu mendiagnosis penyakit Alzheimer lebih dini.

Hal ini dimungkinkan berkat penggunaan machine learning, yang menggunakan algoritma tertentu dalam mempelajari dan mengolah sejumlah data.

Cara kerja machine learning, dalam contoh sederhana, mirip seperti Siri memelajari suara penggunanya dan Facebook memprediksi jenis konten apa saja yang disukai penggunanya.

Untuk melakukan ini, peneliti menerapkan algoritma multilayer clustering guna menganalisis sejumlah besar data, yang diambil dari penelitian Alzheimer’s Disease Neuroimaging Initiative.

Data tersebut bersumber dari tes kognisi, pemindaian otak, dan cairan tulang belakang.

Adapun penelitian ini melibatkan lima ratusan  orang yang mengalami gangguan kognitif ringan.

Facebook dikabarkan akan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mendeteksi iklan palsu yang terus-terusan muncul di platform-nya.

Menurut informasi yang ditulis lamanr Ubergizmo, raksasa media sosial itu telah menguji tool kecerdasan buatannya sejak beberapa bulan terakhir untuk membedakan iklan asli dan palsu.

Nanti, kecerdasan buatan akan mengolah data dari iklan palsu yang dideteksi sebelum akhirnya ‘dimusnahkan’.

“Kami tengah menggunakan kecerdasan buatan dan mengekspansi prosesnya untuk mengidentifikasi, menangkap dan memverifikasi iklan-iklan palsu yang muncul di platform,” tulis Facebook dalam keterangan resminya.

“Dengan ini, kami tentu bisa mengobservasi lebih baik perbedaan konten iklan yang diakses pengguna via aplikasi ketimbang sistem internal kami,” lanjutnya.

Facebook bukan satu-satunya perusahaan teknologi yang tengah menguji kecerdasan buatan untuk memilah jenis iklan yang ditampilkan.

Pew Research, yang bermitra dengan Elon University, belum lama ini merilis riset berjudul The Future of Jobs and Jobs Training.

Riset ini melibatkan seribuan peneliti, pakar teknologi, profesor, dan CEO startup di industri kecerdasan buatan, serta masyarakat umum.

Sejumlah pihak yang terlibat di riset ini antara lain petinggi Google dan Microsoft, pengajar MIT, Harvard, dan kampus lainnya, serta pihak-pihak yang memiliki ketertarikan terhadap kecerdasan buatan dan masa depan dunia kerja.

“Orang-orang akan menciptakan pekerjaan masa depan, bukan sekadar melatih mereka, dan teknologi kecerdasan buatan sudah pasti berperan sangat penting,” kata seorang peneliti Microsoft, dikutip dari Venture Beat

“Tidak diragukan lagi, kecerdasan buatan pasti akan memainkan peran lebih penting pada tahun-tahun mendatang,” sambungnya.

Namun ternyata tidak semua orang begitu yakin akan hal ini. Sejumlah responden masih mempertanyakan apakah pelatihan pekerjaan apa betul-betul tidak akan lagi ada di masa depan.

“Sementara tiga tema pertama yang ditemukan di antara tanggapan responden terhadap penelitian ini sebagian besar mengharapkan kemajuan dalam pendidikan dan pelatihan pekerjaan abad kedua puluh satu, sebagian besar tanggapan para ahli ternama mencerminkan tingkat pesimisme signifikan karena berbagai alasan,” tulis Pew Research dalam laporan tersebut.

“Beberapa bahkan mengatakan masa depan pekerjaan bagi manusia amat buruk, sehingga kapitalisme mungkin akan mengalami kegagalan sebagai sistem ekonomi,” paparnya

Laporan ini juga menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam survei tersebut, yang mengomentari kapitalisme, memilih untuk tetap anonim, tetapi beberapa dari mereka menuliskan namanya.

Misalnya, Mike Warot, seorang masinis di Allied Gear mengatakan, “Pada akhirnya kita akan berakhir dengan penghasilan pas-pasan, atau revolusi.”

Sementara itu, seorang arsitek sistem dan analis kebijakan di Protocol Technologies Group, Miles Fidelman, berujar bahwa tren kecerdasan buatan sebetulnya sudah terlihat cukup jelas. “Kita akan membutuhkan lebih sedikit ‘pekerja’ di masa depan,” kata Fidelman.

Untuk waktu lama, menurut Fidelman, fiksi ilmiah telah memberi kita gambaran tentang dunia di mana mesin melakukan semua pekerjaan. “Pada saat yang sama orang-orang hanya menikmati kesenangan, pencarian artistik, dan lain-lain,” pungkasnya.

Pertanyaan utama dalam survei ini adalah “Dalam sepuluh tahun ke depan, apakah Anda pikir kita masih akan melihat program-program pendidikan dan pelatihan baru yang berhasil melatih sejumlah besar pekerja dalam keterampilan yang mereka perlukan untuk melakukan pekerjaan di masa depan?”

Sekitar 70 persen peserta survei mengatakan mereka yakin program pendidikan dan pelatihan akan berhasil mempersiapkan orang untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan.

Namun, banyak responden juga percaya bahwa pendidikan tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam dekade berikutnya karena automatisasi dan kecerdasan buatan diprediksi akan mengambil alih lebih banyak pekerjaan manusia

Sementara itu, pendiri dan CEO Tesla, Elon Musk terkenal dengan pandangannya tentang kecerdasan buatan menegaskan bahwa dia percaya AI menjadi ancaman yang lebih besar bagi dunia

Bagi Musk, ancaman besar akan datang  dari AI. Ia sekali lagi meminta orang-orang untuk khawatir tentang munculnya teknologi ini.

Dalam sebuah posting di Twitter, dia mengatakan bahwa orang-orang yang tidak peduli tentang keselamatan AI harus mengkhawatirkannya.

“Risiko lebih besar dari Korea Utara,” tambahnya.

Dia bukan satu-satunya tokoh berpengaruh yang menyoroti potensi risiko yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan.

Fisikawan, Stephen Hawking juga telah mengeluarkan peringatan keras tentang teknologi ini.

Kecerdasan buatan adalah apa yang ditambahkan dalam suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah.