close
Nuga Sehat

Wi-Fi Mendatangkan Penyakit Alergi?

Awas!! Wi-Fi bisa mendatang penyakit alergi.

Paling tidak, itulah yang ditulis dengan rinci oleh “cnn” dengan mengadopsi kasus yang menimpa seorang anak remaja kecil bernama Jenny Fry, yang disebut sampai memutuskan bunuh diri karena tak tahan pada Wi-Fi.

Masih menurut laporan “cnn,” seperti mengutip laporan badan kesehatan dunia atau WHO, si Fry ini punya alergi terhadap pancaran konektivitas Wi-Fi.

Menurut ibunya, Debra Fry, sang putri sering mengeluh sakit kepala, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan bermasalah di kandung kemih, karena electro-hypersensitivity syndrome).

EHS ini disebabkan oleh radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh teknologi nirkabel seperti Wi-Fi, ponsel, dan lain-lain.

Menurut sang ibu, awalnya putrinya mengalami hal itu di rumah. Tapi setelah koneksi Wi-Fi di rumah diputuskan, kondisinya lebih baik.

Tapi di sekolah, Fry tetap terpapar Wi-Fi dan menderita karenanya. Alhasil, dia sering memutuskan keluar kelas dan akhirnya sering kena hukum.

Debra bilang, pihak sekolah sudah dikabari perihal alergi itu.

Tapi sekolah, dalam hal ini guru kelas Simon Duffy, mengatakan bahwa banyak informasi yang menyatakan bahwa Wi-Fi tidak berbahaya.

Debra Fry mempercayai tindakan bunuh diri anaknya merupakan tangisan untuk meminta bantuan. “Jenny meninggalkan sebuah surat untuk kami yang mengatakan bahwa ia tidak sanggup lagi mengatasi alerginya terhadap Wi-Fi,” ujar Debra Fry.

Keberadaan EHS sendiri masih jadi perdebatan. WHO bahkan menyatakan bahwa gejala EHS tidak bersangkutan dengan electromagnetic.

Walaupun WHO juga menyatakan bahwa gejala tersebut nyata adanya dan setiap orang memiliki respon fisik yang berbeda-beda.

Arthur Firstenberg, ketua dari aktivis anti-electromagnetic health, mengatakan bahwa EHS bukanlah permasalahan yang sederhana.

Tetapi hal ini belum ditanggapi serius oleh komunitas medis.

Firstenberg percaya bahwa ada masalah dampak kepada kesehatan dari meningkatnya penggunaan teknologi nirkabel. Dan menurut Firstenberg merupakan tugas sekolah untuk menjaga keamanan dan kenyamanan anak-anak.

Jaringan Wi-Fi sekarang ada hampir di seluruh tempat terutama perkotaan. Tidak banyak yang mengetahui bahwa jaringan tersebut memiliki dampak yang kurang baik terhadap fisik beberapa orang.

Wi-Fi, seperti diketahui, adalah sarana untuk memudahkan komunikasi.

Belakangan ini tidak hanya Fry, tapi juga banyak orang-orang yang mengaku menderita sakit kepala, pusing, sampai iritasi kulit karena mengalami sensitivitas dan ketidaknyamanan akibat adanya sumber gelombang elektromagtik di sekitarnya.

World Health Organization disebut sebagai electromagnetic hypersensitivity.

Melansir laman Live Science, di beberapa kasus, orang yang mengaku mengalami EHS mengatakan gejala yang mereka alami melemahkan dan mempengaruhi hidup mereka secara dramatis.

Orang tua dari seorang anak tahun baru-baru ini mengajukan gugatan di Massachusetts terhadap sekolah swasta, karena menganggap sistem Wi-Fi di sekolah tersebut menyebabkan masalah kesehatan pada anaknya.

Anak tersebut menderita sakit kepala, kulit gatal dan ruam, perdarahan di hidung, pusing dan jantung berdebar-debar.

Gejala itu muncul hanya selama jam sekolah dan dokter pun tak mampu mendiagnosisnya.

Pejabat sekolah menolak kesimpulan bahwa penyakit itu berasal dari paparan Wi-Fi. Berdasarkan evaluasi yang mereka lakukan, Wi-Fi tersebut masih sesuai dengan parameter keselamatan yang ditetapkan oleh Federal Communications Commission.

Dalam kasus lain, di Perancis, seorang wanita yang mengklaim bahwa EHS-nya begitu parah membuat ia harus hidup tanpa listrik di gudang yang sedang direnovasi, di pegunungan, untuk melindungi diri dari sinyal elektromagnetik.

Namun, pengadilan secara resmi memutuskan untuk tidak mengakui EHS sebagai kondisi medis.

Terkait hal ini, sebuah penelitian telah menemukan bahwa orang yang menderita gejala EHS, ketika mereka dihindarkan dan diisolasi dari gangguan gelombang elektromagnetik, entah itu dari sinyal Wi-Fi, ponsel atau layar komputer, merasa gangguan sakit kepala dan kelelahan yang mereka derita ketika berhadapan dengan alat-alat tersebut memang berkurang.

Namun, pada penelitian lainnya yang diterbitkan di jurnal Bioelectromagnetics, ditemukan bahwa para partisipan yang mengikuti penelitian sebenarnya tak menyadari kapan sinyal elektromagnetik itu dinyalakan.

Dan sebelum penelitian dilakukan, mereka memang tidak diberitahu soal ini.

Dosen psikologi senior di King’s College London, James Rubin mengatakan orang yang mengaku menderita EHS sejatinya memang sakit. “Tapi, sains percaya kalau bukan sinyal elektromagnetik yang menyebabkan mereka sakit,” kata pemegang gelar doktor yang juga meneliti tentang EHS itu.

Walaupun WHO menyatakan dalam websitenya bahwa orang yang menderita EHS menunjukkan ‘berbagai gejala spesifik’, mereka juga mengatakan bahwa EHS bukanlah diagnosis medis.

Sebab, tak ada dasar ilmu pengetahuan yang mengatakan kalau gejala EHS memiliki hubungan dengan paparan frekuensi elektromagnetik.

Gejala EHS dapat berbeda-beda pada setiap orang, tapi biasanya bisa digeneralisasi. Hal ini berarti EHS bisa mempunyai banyak penyebab.

Misalnya saja sakit kepala. Bisa saja itu disebabkan kebanyakan mengonsumsi kafein. Rasa pusing yang diderita juga bisa saja merupakan gejala flu atau kurang tidur.

Dalam studi Rubin pada enam tahun lalu lalu, yang melibatkan seribuan orang pengidap EHS, dia menyimpulkan Wi-Fi bukan pelaku utamanya.

Sejumlah kondisi kesehatan dan lingkungan, yang berbeda pada setiap individulah yang mungkin bertanggung jawab dalam hal tersebut.

Faktor lain yang berperan mungkin saja terjadi ketika seseorang tersugesti bahwa paparan EMF memicu gejala tersebut untuk muncul

Tags : slide