close
Nuga Sehat

Makan Berlebihan Bisa Mencelakan Usus

Makan berlebihan?

Wah.., celaka!

Lantas?

Peneliti senior Dr Scott Waldman dari Thomas Jefferson University menuding makan berlebihan akan memicu kanker usus besar dan rectal.

Untuk itu ia menganjurkan, makanlah secukupnya dalam jumlah sedang.

Kebiasaan ini bukan cuma berdampak positif bagi berat badan, tapi juga bisa menjauhkan kita dari risiko kanker kolorektal.

Obesitas akibat pola makan berlebihan sudah lama diketahui terkait dengan peningkatan risiko kanker usus besar.

Namun, baru sekarang para ilmuwan mampu mengidentifikasi alasan di balik hubungan ini.

Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa pola makan tinggi kalori dapat mematikan hormon penting dalam usus yang menon-aktifkan penekan tumor sehingga tumor usus terbentuk.

Kabar baiknya, para peneliti menemukan bahwa penggantian gen dapat dipakai untuk “penghidupan kembali penekan tumor” dan mencegah kanker berkembang.

Sebut saja nama Dr Scott Waldman dari Thomas Jefferson University.

Sang professor yang mengadakan studi dan menghasilkan penelitian terbaru mengatakan, kanker usus besar dan rektal dapat dicegah pada individu obesitas dengan menggunakan terapi penggantian hormon.

Selain itu, penyakit lain yang berhubungan dengan kekurangan hormon, seperti kehilangan insulin pada diabetes juga dapat diobati.

Orang gemuk diketahui memiliki risiko lima puluh persen lebih tinggi untuk terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan orang dengan bobot normal.

Para ilmuwan mengira-ngira bahwa keterkaitan ini berdasarkan pada jumlah jaringan lemak dan proses metabolisme dari kelebihan kalori yang merupakan bahan bakar sel energi dan pertumbuhan.

Tim peneliti gabungan dari Thomas Jefferson, Harvard University and Duke Medical School telah menggunakan rekayasa genetika seekor tikus untuk meneliti keterkaitan ini.

Mereka menemukan bahwa obesitas, baik dari konsumsi lemak maupun karbohidrat berlebih, atau keduanya, berkaitan dengan hilangnya hormon guanylin yang diproduksi di epitel usus, yang merupakan sel-sel pelapis organ.

Guanylin, guanylil siklase bersifat mengatur regenerasi epitel usus.

“Lapisan usus sangat dinamis dan terus-menerus akan berganti dan GUCY2C berkontribusi sebagai kunci yang sangat dibutuhkan pada proses regenerasi ini,” kata Dr Waldman.

Pada kasus kanker kolorektal, umumnya gen guanylin ini menjadi tidak aktif. Dan pasien obesitas akan mengalami penurunan gen ini sampai delapan puluh persen dibandingkan dengan orang yang ramping.

Reseptor guanylyn ini berlaku sebagai penekan pertumbuhan dan pengontrol tumor.

Tanpa hormon tersebut, reseptor tak akan bekerja.

“Ini terjadi sangat awal dalam pengembangan kanker. Ketika reseptor tak bekerja, epitel akan mengalami disfungsional yang membuat kanker dapat berkembang.” kata Dr Waldman.

Para peneliti kemudian menciptakan tikus yang membawa transgen yang tidak akan membiarkan guanylin mati.

Studi ini menyimpulkan bahwa pada tikus obesitas, hormon dan reseptornya diam atau tak bekerja.

“Kami percaya bahwa kanker kolorektar bisa berkembang melalui mekanisme pembungkaman ini dan ini lebih sering terjadi pada orang obesitas,” kata Dr Waldman.

Dia menambahkan bahwa penemuan ini merupakan kejutan dan masih banyak para peneliti lain di dunia ini yang telah mencoba menguraikan kaitan obesitas pada terjadinya kanker kolorektal.

Kalori berada di tengah-tengan kedua kondisi ini, tetapi “apa yang mereka lakukan” merupakan salah satu pertanyaan yang paling membingungkan dan provokatif dalam penelitian kanker.

“Sekarang kami akhirnya mempunyai petunjuk besar mengenai asal kanker kolorektal pada individu obesitas dan mungkin orang biasa,” katanya.

Di samping itu, peneliti menemukan bahwa pil linaclotide – yang terkait dengan hormon yang hilang – dapat digunakan sebagai terapi awal untuk mencegah kanker kolorektal pada pasien diabetes

Beragam pertanyaan telah diajukan menyikapi perilaku orang yang makan terus menerus seolah tak pernah kenyang.

Banyak yang mengatakan karena kebiasaan, ada juga karena merasa ingin terus mengunyah.

Melansir laman Newsweek, sebuah penelitian yang dilakukan pada awal dua ribuan oleh Nora Volkow dan timnya di Brookhaven National Laboratory mengungkap alasan mengapa ada orang yang tidak dapat berhenti mengunyah.

Pengujian dilakukan pada sepuluh sukarelawan yang diketahui memiliki kebiasaan makan berlebihan.

Mereka dibaringkan pada Positron Emission Tomography Scan atau alat yang dapat memindai sehingga tampak gambar fungsi biologis tubuh manusia lebih jelas.

Penggunaan PET bertujuan melihat otak para sukarelawan.

Berdasarkan penelitian tersebut, orang yang memiliki keinginan makan tanpa henti memiliki tampilan otak yang berbeda. Pada orang dengan kebiasaan makan berlebih, terutama yang mengalami kegemukan, otak mereka diketahui tidak memiliki reseptor untuk dopamin.

Dopamin merupakan zat kimia yang memainkan peranan penting di otak. Dopamin berperan dalam penggerak, kendali motorik, motivasi, gairah, penguatan, dan rasa menghargai.

Dopamin juga memiliki fungsi lainnya seperi saat menyusui, kepuasan seksual, dan mual.

Terdapat dua saluran dalam penyaluran dopamin pada otak, yaitu saluran D1 dan D2.

Bila seseorang tidak memiliki reseptor D2 seperti yang ditemukan Volkow pada sukarelawan tak henti makan itu, maka orang tersebut tidak dapat menghambat dorongan kuat yang datang ke otak.

Salah satu akibatnya, seseorang tidak dapat mengendalikan hasrat makan.

Volkow juga mengatakan defisit D2 dapat meningkatkan makan berlebih dengan membuat orang tersebut kehilangan sensitifitas saat menikmati makanan.

Hal ini menyebabkan orang akan terus makan untuk mengejar rasa puas dari mengonsumsi makanan.

Namun yang berpengaruh dalam tingkah laku makan seseorang bukan hanya dopamin.

Menurut Jeffrey Zigman dari University of Texas Southwestern Medical Center di Dallas, zat di otak yang bernama ghrelin ikut mengendalikan hasrat seseorang dalam makan.