close
Nuga Sehat

Kegemukan Berarti “Sarang” Penyakit?

Apakah Anda termasuk salah seorang dari yang terobsesi bahwa kegemukan atau obesitas sebagai “sarang” penyakit?

Wuah, jangan langsung menuduh.

Memang ada kesan sangat kuat bahwakegemukan atau obesitas memang bisa menjadi awal dari berbagai masalah kesehatan

Sebut saja diabetes, hipertensi, atau kadar Kolesterol tinggi.

Tetapi Anda harus juga ingat,  ada juga orang yang gemuk namun metabolismenya sehat.

Para ahli mencoba mengetahui jawaban mengapa ada orang yang obesitas tapi tak punya faktor risiko penyakit kronik, misalnya hipertensi, kadar gula darah tinggi, Kolesterol tinggi, atau Kolesterol baik rendah.

Penelitian dilakukan dengan menganalisa informasi dari satu koma  juta orang dewasa di Amerika yang gemuk dan obesitas.

Pada awalnya, semua responden itu tak satu pun menderita diabetes.

Dari seluruh orang yang obesitas, sekitar sepuluh persen tak memiliki faktor risiko penyakit kronik. Sebelumnya, para ahli menyebutnya sebagai “obesitas yang metabolismenya sehat”.

Walau begitu, menurut ketua peneliti Gregory Nichols, walau ada faktor risiko tapi mereka tidak sepenuhnya sehat.

“Mereka mungkin secara metabolisme sehat, tapi secara keseluruhan tak sehat karena obesitas juga meningkatkan risiko penyakit lain, seperti kanker, gangguan sendi, dan penyakit ginjal,” kata Nichols.

Selain itu, menurut dia, bisa saja saat penelitian itu mereka sehat, tapi beberapa tahun kemudian baru memiliki faktor risiko penyakit. Apalagi, orang yang kegemukan beresiko dua kali lipat menderita diabetes dibanding orang yang berat badannya normal.

“Orang yang kegemukan perlu menurunkan berat badannya karena bisa mengurangi faktor risiko terjadinya penyakit,” katanya.

Selain berat badan secara keseluruhan, distribusi lemak juga berpengaruh pada risiko penyakit. Mereka yang penumpukan lemaknya lebih banyak di bagian perut memiliki risiko yang lebih besar

Sebuah studi baru juga menemukan, lebih dari lima puluh juta orang Amerika yang dinyatakan obesitas menurut perhitungan BMI ternyata cukup sehat, lapor Los Angeles Times.

BMI sendiri selama ini digunakan sebagai salah satu patokan dalam menentukan kesehatan seseorang berdasarkan berat badan.

“Ini menjadi bukti bahwa perhitungan BMI bukan penentu mutlak apakah seseorang dinyatakan sehat atau berisiko terkena penyakit tertentu,” kata A. Janet Tomiyama, penulis utama studi yang diterbitkan dalam Journal of Obesity.

“Obesitas hanyalah kategori berdasarkan BMI, dan kami pikir BMI menjadi indikator yang terlalu dini untuk menentukan kesehatan seseorang,” kata Tomiyama.

Beberapa perusahaan asuransi bahkan membedakan jenis asuransi untuk orang-orang dengan kategori BMI “overweight”.

Tomiyama mengatakan kebijakan itu tidaklah adil mengingat “overweight” bukanlah penentu kesehatan mutlak.

Para peneliti merekomendasikan kepada banyak orang untuk lebih fokus pada pola makan yang baik dan berolahraga secara teratur ketimbang fokus untuk menuju berat badan ideal.

Dengan kata lain, BMI masih berguna sebagai tes cepat dalam menunjukkan kesehatan tetapi, apapun kategori BMI yang anda miliki, entah itu normal atau berlebih, Anda tetap perlu menjalani tes kesehatan tambahan untuk menentukan kesehatan yang paling akurat

Memang tak dipungkiri banyak orang kegemukan yang Kolesterol dan tekanan darahnya lebih baik dibandingkan dengan orang yang kurus.

Sebagian orang dengan obesitas mungkin akan merasa sehat karena tidak memiliki gejala penyakit apapun. Sayangnya, kelebihan berat badan tetap saja berarti mengundang penyakit datang.

Namun sebuah studi baru menyimpulkan, orang dengan obesitas tetap memiliki risiko yang lebih tinggi menderita penyakit kronik dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal.

Para peneliti menganalisis pada belasan ribu  orang dewasa di Korea dan secara umum, mereka tidak memiliki penyakit jantung dan semuanya sehat secara metabolisme.

Artinya, para responden ini memiliki tekanan darah, Kolesterol, dan gula darah yang normal.

Kemudian, dengan menggunakan pemindaian jantung, para peneliti menemukan, orang dengan obesitas lebih mungkin untuk mengalami penimbunan plak di arteri dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal.

Plak atau timbunan lemak ini bisa membuat arteri menyempit dan aliran darah melambat. Ini merupakan sebab awal tersumbatnya pembuluh darah yang menuju jantung, sehingga terjadi serangan jantung atau nyeri dada.

Peneliti mengatakan, hasil studi ini membuat anggapan orang obesitas bisa tetap sehat menjadi meragukan. “Orang dengan obesitas dianggap sehat karena mereka saat ini belum memiliki risiko penyakit jantung,” ujar ketua peneliti Yoosoo Chang, profesor di Sungkyunkwan University, School of Medicine di Seoul.

Menjadi obesitas saja ternyata telah meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit jantung di kemudian hari.

Pasalnya, penyakit tersebut mungkin telah terbentuk di dalam tubuh mereka meskipun belum bergejala.

“Penting bagi orang dengan obesitas untuk mengerti hal ini selama mereka masih memiliki waktu untuk mengubah pola makan dan kebiasaan olahraga mereka untuk mencegah serangan jantung di kemudian hari,” tekan Chang.

Peneliti mencatat, laju penimbunan plak yang lebih tinggi terjadi pada orang dengan obesitas yang kadar tekanan darah, Kolesterol, dan gula darahnya ada dalam ambang batas “sehat” ke “tidak sehat”.

Dengan kata lain, sejumlah orang dengan obesitas dinyatakan sehat karena masih di dalam batasan sehat, meskipun sedikit lagi keluar dari batasan tersebut.

Kegemukan berlebih bukan hanya berpengaruh pada jantung. “Menjadi obesitas berarti Anda juga rentan sakit persendian, kelainan psikiatris dan kanker,” kata Dr.Rishi Puri, ahli penyakit jantung yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Para ahli juga sepakat bahwa yang paling penting adalah mengurangi berat badan. Memang, menjadi gemuk tapi fit bagaimana pun tetap lebih baik dari pada gemuk dan tidak fit.

“Kelebihan lemak tubuh bisa meningkatkan risiko proses inflamasi dalam tubuh, salah satu faktor yang memicu penyakit jantung dan penyakit kronik lainnya,” kata Dr.David Katz, direktur riset pencegahan penyakit dari Universitas Yale.