close
Nuga Sehat

Ingin Berat Turun? Coba “Berstres” Ria

Anda bermasalah dengan berat badan?

Sudah mencoba banyak cara?

Nah, sebuah studi memberi alternatif “yahud” dengan kelebihan berat badan Anda ini.

Mau coba?

Coba dengan berstress ria.

Apa itu.

Ya, mengundang datangnya stress.

Lantas?

Para ahli dalam sebuah studi terbaru menemukan stress bisa menyusutkan berat badan.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan di Experimental Physiology, menyatakan, stres psikologis yang ringan bisa mengaktifkan jaringan lemak cokelat.

Jaringan tersebut dapat meningkatkan panas tubuh dengan membakar kalori.

Hal tersebut mengakibatkan sensitivitas insulin meningkat dan menyeimbangkan kadar gula dalam darah.

Sejak lemak coklat telah terbukti untuk membakar kalori lebih banyak dibandingkan lemak putih, beberapa ahli percaya lemak cokelat memiliki potensi untuk mengobati obesitas.

Untuk menguji dugaan mereka, para peneliti meminta lima perempuan bertubuh langsing untuk menyelesaikan satu seri tes matematika sebelum memberikan mereka video relaksasi.

Sampel air liur mereka juga diambil untuk mengukur perubahan tingkat hormon kortisol.

Para peneliti juga menggunakan termografi infra merah untuk mendeteksi adanya perubahan temperatur pada area kulit, tempat lemak cokelat paling banyak berada. Sebagian besar ada di bagian daerah leher.

Tes matematika tidak membuat para perempuan itu stres tapi antisipasi mereka terhadap tes yang justru membuat mereka stres.

Hal tersebut membuat hormon kortisol meningkat dan ‘memanaskan’ lemak cokelat.

Hormon kortisol yang meningkat akan memancing aktivitas lemak cokelat sehingga membuat kalori terbakar.

Profesor dari The School of Medicine, University of Nottingham Michael E. Symonds mengatakan, orang dewasa biasanya memiliki lemak cokelat sebanyak lima puluh hingga seratus gram.

Sementara orang yang memiliki indeks massa tubuh lebih rendah cenderung memiliki lemak cokelat yang lebih banyak.

Symonds mengatakan, lemak cokelat dan indeks massa tubuh berbanding terbalik. Jika indeks massa tubuh besar, maka jumlah lemak cokelat akan lebih sedikit. Namun, kata dia, hal itu masih harus dikembangkan lebih dalam lagi.

“Karena kapasitasnya untuk menghasilkan panas tiga ratus kali lebih besar atau per satuan massa daripada jaringan lainnya, lemak cokelat memiliki potensi untuk mempercepat metabolisme glukosa dan lipid,” kata Symonds.

Ia juga mengatakan para peneliti harus memahami lebih baik lagi faktor utama yang menyebabkan aktivitas lemak cokelat ini meningkat. Sebab, hal ini nantinya juga bisa berhubungan dengan obesitas dan diabetes.

Selain itu melewati hari-hari berat—saat banyak deadline, ujian, atau karena banyaknya tamu yang berlibur ke rumah Anda— bisa juga mengurangi berat badan

Hal tersebut bukanlah kebetulan, melainkan sebuah fenomena yang sering disebut dengan the let-down effect.

Itu adalah sebuah pola di mana seseorang akan mendapatkan penyakit usai berakhirnya stres, bukan saat mengalami stres. Dengan kata lain, penyakit justru akan muncul saat stres mulai hilang.

Hal tersebut dijelaskan psikolog Marc Schoen, asisten profesor kedokteran klinis di Univesitas California, Los Angeles, sekaligus penulis ‘When Relaxation Is Hazardous to Your Health’.

Peneliti telah mengaitkan the let-down effect tadi dengan meningkatnya ‘serangan’ penyakit.

Dalam sebuah studi tahun dua tahun lalu, peneliti dari Albert Einstein College of Medicine di New York melacak gejala penderita migrain dan pola stres dalam buku harian elektronik mereka selama tiga bulan.

Ternyata tingkat stres mereka tidak memengaruhi terjadinya migrain, tetapi penurunan stres yang mereka rasakan dari satu malam ke malam berikutnya lah yang dapat dikaitkan dengan peningkatan timbulnya migrain mereka

Itu adalah bukti nyata dari apa yang disebut peneliti dengan “let-down headache”.

Sebenarnya, sudah lama diketahui bahwa stres dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit, tetapi baru belakangan ini muncul bukti bahwa beberapa orang memang cenderung sakit setelah periode stres mereka berakhir.

Untuk memahami bagaimana dan mengapa hal ini bisa terjadi, para peneliti berusaha mencari tahu bagaimana stres dapat memengaruhi tubuh.

Selama stres akut, tubuh manusia akan melepaskan hormon kunci—termasuk glukokortikoid, katekolamin, dan adrenalin.

“Dalam proses ini glukokortikoid dapat mengaktifkan infeksi virus laten yang dapat memicu kelelahan, demam, sakit tenggorokan, dan pembengkakan kelenjar, yang mana gejalanya akan terlihat jelas setelah beberapa hari,” jelas ahli syaraf perilaku Leah Pyter, asisten profesor psikiatri di The Ohio State University Medical Center di Columbus, seperti dilansir Huffington Post.

Itu sebabnya gejala-gejala sakit dapat muncul setelah stres hilang, misalnya saat akhir pekan, liburan, atau setelah masa ujian.

Di samping itu, saat Anda sedang di bawah tekanan, kenaikan kortisol dan hormon stres lainnya dapat melindungi Anda terhadap persepsi sakit, yang mana dapat membantu Anda mencapai keselamatan dalam situasi berbahaya tanpa terhalang oleh rasa sakit.

“Setelah periode stres berlalu, tubuh kembali ke keadaan normal dan banyak sistem yang sebelumnya diaktifkan akan menjadi tenang,” kata psikolog Dawn Buse, direktur kedokteran perilaku di Montefiore Headache Center dan profesor neurologi di Albert Einstein College of Medicine.

“Ini termasuk penurunan kortisol serta hormon stres lainnya yang bisa menyebabkan migrain,” tambahnya.

Demikian pula, bahwa penurunan kortisol pasca-stres bisa memicu ‘serangan’ lainnya dari penyakit menahun, seperti fibromyalgia dan artritis.

“Setelah stres selesai, sistem kekebalan tubuh akan menurun dan akan terjadi suatu penekanan respon imun sebagai reaksi untuk pelonggaran stres,” jelas Schoen.

Salah satu cara terbaik untuk menghindari efek let-down adalah dengan memperbanyak olahraga, istirahat, makan makanan bernutrisi, bermeditasi, dan melakukan relaksasi dengan cara lainnya.

Selain itu, Anda juga bisa melakukan hal-hal yang lebih menantang untuk tubuh Anda, seperti jogging atau berjalan naik-turun di tangga selama lima atau enam menit dan Anda merasa lebih baik setelah stres.

Tags : slide