close
Nuga Sehat

Ganasnya Kanker Ditentukan Jenis Kelamin

Apa hubungan kanker dengan jenis kelamin?

“Keganasannya,” kata Han Liang, profesor bioinformatika dan biologi komputasi di University of Texas MD Anderson Cancer Center

Pernyataan Han Liang ini disimpulkan dari sebuah studi terbaru yang  menunjukkan bahwa dalam terapi banyak jenis kanker, perbedaan genetika pada pria dan wanita dapat memengaruhi perkembangan dan agresivitas kanker.

Selain itu juga  jenis kelamin ini memengaruhi bagaimana pasien menanggapi pengobatan.

Para peneliti menyimpulkan temuan ini dapat mempengaruhi pengembangan obat dan strategi untuk mencegah dan mengobati kanker dengan memertimbangkan jenis kelamin pasien.

“Efek gender dalam analisis molekuler diabaikan di lapangan,” kata Han Liang, yang menambahkan, “Dokter harus tahu apakah ada terapi yang lebih ampuh untuk pria dan wanita.”

Liang,  penulis senior studi, yang diterbitkan online minggu lalu dalam jurnal Cancer Cell telah menganalisa data dari tiga ribuan pasien di Cancer Genome Atlas.

Mereka menemukan delapan jenis kanker di mana perbedaan karakteristik molekuler sangat terkait dengan perbedaan jenis kelamin pria dan wanita dalam mengembangkan kanker dan tingkat risiko kematian.

Tingkat keganasan yang diduga dipengaruhi jenis kelamin, di antaranya adalah kanker kandung kemih, kepala dan leher, tiroid, hati paru-paru dan ginjal.

Lima jenis kanker lainnya yaitu glioma tumor otak dan glioblastoma, usus besar dan rektum, tidak terlalu dipengaruhi perbedaan jenis kelamin. Jenis kanker lainnya tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Ahli onkologi yang tidak terlibat dengan penelitian tertarik dengan temuan ini, namun mengatakan masih terlalu dini untuk menggunakannya dalam memandu pengobatan.

“Ini meletakkan dasar bagi kita untuk mengeksplorasi hal-hal tertentu lebih lanjut,” kata John Heymach, kepala departemen kanker leher, dada dan kepala di MD Anderson. “Temuan ini belum bisa mengubah apa yang sudah kita lakukan saat ini.”

Salah satu alasannya adalah bahwa penelitian lanjutan diperlukan untuk lebih memahami manfaat dan risiko pengobatan berdasarkan gen gender.

Lainnya adalah bahwa perbedaan genetik yang diidentifikasi oleh peneliti, mungkin lebih umum terjadi di salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya, tidak terlihat di semua penderita kanker pria atau semua penderita kanker wanita.

Dr. Liang mengatakan, temuannya mungkin memiliki implikasi untuk merancang uji klinis lebih lanjut.

Studi ini menemukan bahwa gen kanker yang disebut SRC jauh lebih aktif dalam tumor kepala dan leher pada wanita dibandingkan pada pria.

Ahli onkologi sudah mempertimbangkan gender dalam pengobatan dalam kasus-kasus terbatas.

Misalnya, mutasi terkait faktor pertumbuhan epidermal reseptor, atau EGFR, yang lebih sering terjadi pada wanita yang tidak merokok namun didiagnosis kanker paru-paru.

Pasien tersebut tampaknya memiliki prognosis yang lebih baik terhadap obat Tarceva.

“Bahkan jika mereka mendapatkan perlakuan yang sama, wanita cenderung memiliki hasil yang lebih baik daripada pria,” kata Dr. Heymach.

Di luar implikasi pengobatan, hasil penelitian Dr. Liang juga menggambarkan potensi pengumpulan database untuk mendapatkan wawasan baru mengenai genetika kanker, kata Roy Herbst, kepala onkologi medis di Yale Cancer Center, di New Haven, Conn.

“Kami jadi berpikir, bahwa pemahaman yang lebih baik tentang biologi dan etiologi kanker akan menghasilkan pengobatan yang lebih baik,” katanya.

Seperti juga disimpulkan oleh para ahli termasuk Liang,  gaya hidup sehat, yang meliputi menjaga berat badan yang sehat, berolahraga secara teratur dan menahan diri dari merokok, dapat mencegah kanker.

Bahkan, pilihan gaya hidup sehat berpotensi mencegah 20 sampai 40 persen dari kasus kanker dan memangkas setengah kematian akibat kanker, menurut studi terbaru.

Studi yang diterbitkan di jurnal JAMA Oncology tersebut, memberikan dukungan yang kuat bahwa sebagian besar kasus kanker, disebabkan oleh faktor lingkungan dan dapat dicegah dengan modifikasi gaya hidup.

Sang  penulis studi,  Dr. Mingyang Song, seorang peneliti epidemiologi di Rumah Sakit Umum Massachusetts, melihat data lebih dari dua dekade milik seratusan ribu orang yang terdaftar dalam Studi Nurses Health atau Health Professionals Follow-up Study.

Semua peserta secara rutin merespons survei tentang gaya hidup mereka, dan para peneliti membagi peserta menjadi dua kelompok: kelompok risiko rendah kanker, yang mengikuti gaya hidup sehat, dan kelompok yang berisiko tinggi kanker, yang tidak mengikuti gaya hidup sehat.

Para peneliti mendefinisikan gaya hidup sehat sebagai: tidak pernah atau tidak lagi merokok, tidak pernah minum alkohol atau minum sedikit alcohol, satu gelas sehari atau kurang untuk wanita dan dua gelas sehari atau kurang untuk laki-laki.

Para peneliti juga menentukan arti sehat lewat BMI dan berolahraga secara teratur,  setidaknya seratus lima puluh menit olahraga ringan per minggu atau tujuh puluh lima menit olahraga berat per minggu).

Para peneliti menemukan bahwa wanita pada kelompok berisiko tinggi, dua puluh lima persen lebih mungkin untuk mendapatkan kanker dan empat puluh delapan persen lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker selama masa studi ketimbang wanita pada kelompok berisiko rendah.

Pria pada kelompok berisiko tinggi, lebih mungkin untuk mendapatkan kanker dan  lainnya lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker ketimbang pria dalam kelompok berisiko rendah.

Para peneliti pun mencatat, bahwa semua orang dalam penelitian ini adalah para profesional dalam bidang kesehatan dan karena itu, responden dinilai lebih sadar kesehatan ketimbang populasi umum.

Jika hasil penelitian itu diterapkan pada populasi umum, maka gaya hidup sehat dianggap bisa mencegah terjadinya kasus kanker antara empat puluh dan tujuh puluh persen.

Dalam studi ini, mereka hanya melibatkan pria dan wanita kulit putih, hasilnya mungkin tidak sama untuk etnis lainnya.

Namun, gaya hidup sehat yang dilakukan dalam penelitian ini telah terbukti menurunkan risiko kanker pada kelompok etnis yang beragam.