close
Nuga News

Panglima Laot Berang Pada Kapal Batubara

Keberadaan kapal tongkang pengangkut batu bara yang karam di perairan Kabupaten Aceh Besar mulai meresahkan masyarakat setempat.

Pasalnya angin kencang meniup muatan kapal sehingga isinya dikhawatirkan mencemari pantai yang selama ini menjadi lahan memancing nelayan dan objek wisata bahari.

Hal tersebut dikatakan oleh Panglima Laot  atau dikenal dengan lembaga adat laut Lhok Lampuuk Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Imran

“Batu bara yang berasal dari kapal tongkang karam dan terbelah dua itu sudah mencemari kawasan laut Lhok Lampuuk,” kata Imran.

“Kapal tongkang batu bara kini hanya berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai. Kapal tersebut membawa material untuk perusahaan penghasil semen PT Holcim yang ada di Kecamatan Lhoknga,” lanjutnya.

Menurut Imran seharusnya perusahaan segera mengevakuasi kapal, sehingga materialnya tak semakin mencemari peraian.

Keterlambatan evakuasi dan kencangnya angin dikhawatirkan membuat pencemaran semakin parah dan melebar ke perairan lain.

“Dampak pencemaran lingkungan ini tidak hanya diresahkan oleh nelayan tapi juga pelaku usaha di kawasan wisata Pantai Lampuuk,” kata Imran.

Ia menambahkan pihaknya akan menggelar rapat dengan para tokoh gampong (desa) serta pemukiman guna membicarakan persoalan ini.

“Kami akan segera berembuk untuk membicarakan terkait langkah-langkah yang akan ditempuh serta rekomendasi apa saja yang akan disampaikan ke perusahaan yang bertanggungjawab,” kata Imran.

Tak hanya di Aceh, keberadaan kapal tongkang pengangkut pasir juga terlihat di perairan Nusa Dua, Bali.

Sejumlah warga dan pelaku usaha wisata di sekitar Nusa Dua mengaku khawatir jika kapal-kapal tongkang yang hilir mudik mencemari jernihnya pantai-pantai di sana.

Padahal kawasan Nusa Dua sudah dikenal memiliki garis pantai tercantik di Pulau Dewata.

“Kapal-kapal besar itu sering diusir nelayan jika dirasa sudah berlayar terlalu dekat dengan pantai, karena kami takut pantai jadi keruh dan mati,” kata salah satu warga yang tak ingin disebutkan namanya.

Panglima Laot sendiri adalah warisan dari budaya Aceh yang menghargai  hukum adat warisan Kesultanan Aceh,  yang  berpanutan kepada Hukum Adat Laot.

Hukum adat tersebut mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang), penetapan waktu penangkapan ikan, penyelesaian sengketa atau perselisihan antarnelayan, dan pelaksanaan ketentuan adat serta pengelolaan upacara-upacara adat nelayan.

Orang yang berwenang sebagai pemangku hukum adat tersebut adalah tokoh berpengalaman sekaligus sosok yang dituakan di dunia bahari Aceh. Orang-orang menyebutnya Panglima Laot.

Di Pulau Weh terdapat 10 Panglima Laot yang bertugas menjaga Hukum Adat Laot, di masing-masing distrik bahari atau biasa disebut gampong.

“Rezeki yang Allah SWT berikan kepada kita di laut sungguh luar biasa dan tidak akan pernah habis. Jadi sudah sepatutnya kita senantiasa mensyukuri nikmat tersebut,” kata Panglima Laot Wilayah Kota Sabang Ali Rani.

Setiap Panglima Laot punya kuasa menjaga ketertiban Hukum Adat Laot yang mesti dipatuhi oleh para nelayan di masing-masing gampong.

Selain mengurus persoalan aktivitas maritim dan sengketa antarnelayan, Panglima Laot juga bertanggung jawab memastikan ketertiban Hari Pantang Melaut yang ditetapkan pada tanggal-tanggal tertentu.

Jika ada nelayan bandel yang tetap melaut, sanksinya berupa sitaan terhadap alat tangkap hingga membayar denda sesuai kesepakatan bersama.

“Sudah menjaga tanggung jawab kita bersama menjaga laut untuk masa depan generasi bangsa. Jika ada nelayan yang melanggar aturan adat atau pantangan melaut maka akan dikenakan sanksi yang tegas,” pungkas Ali Rani.