close
Nuga News

Jakarta Tawarkan Polemik Qanun Bendera Lewat Tim Bersama

Kesepakatan antara Aceh-Jakarta untuk mendinginkan polemik pengesahan qanun bendera dan lambang provinsi ini, yang telah bergulir menjadi bola liar selama dua bulan terakhir,  menemukan momentumnya dengan mengecilnya  potensi ketegangan hubungan antar kedua pihak.

Kesepakatan pendinginan ini juga   memungkinkan terjadinya “eleganitas bargaining”  untuk menghasilkan solusi yang pas tanpa harus menjungkirbalikkan “harga diri” salah satu pihak.

Beberapa pengamat mengatakan,  kesepakatan “cooling down”  adalah tindakan “cerdas” masing-masing pihak agar kesempatan media untuk menggosok perbedaan tajam kedua kepentingan yang berbeda itu dari narasumber pengamat, tokoh politik, dan jurubicara kedua pihak makin tertutup sehingga masing-masing mereka  bisa menginventarisir pilihan penyelesaian.

Baik Jakarta maupun Aceh tidak lagi melontarkan kengototannya untuk tetap mempertahankan argumentasi masing-masing sehingga persoalannya makin pelik, seperti selama ini.  Pusat yang sudah mau mendengar semua argumentasi Aceh tentang klarifiasi Mendagri dalam  proses pengesahan sebuah qanun, atau peraturan daerah, kini sedang mencari satu kesepakatan lain bagaimana polemik ini bisa berakhir.

Aceh juga, seperti, disampaikan oleh Gubernur Zaini Abdullah sudah mengisyaratkan untuk mendengar semua saran untuk mengecilkan persoalan ini. Bahkan dengan sangat tegas Zaini mengatakan, persoalan qanun bendera dan lambang yang telah disahkan itu sangat kecil bila disbanding dengan penyelesaian konflik yang menyebabkan Aceh tersungkur dalam kekerasan selama tiga dekade.

Zaini juga mengungkapkan akan mencari titik temu untuk menuntaskan kasus qanun yang sempat menjadi “trending topic” para pengamat dan politisi di media-media lokal dan nasional selama bermingu-minggu. Bahkan isu ini juga menjadi pemicu maraknya demonstrasi dan pawai dari komunitas masyarakat yang mendukung dan menentang di tingkat lokal.

Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh memang belum menemukan kata sepakat terkait 10 dari 12 poin evaluasi terhadap qanun bendera dan lambang Aceh. Pemerintah, seperti dikatakan oleh Mendagri Gamawan Fauzi mencoba menawarkan pembentukan tim bersama agar poin-poin evaluasi qanun dapat segera diselesaikan.

Upaya Mendagri itu dikemukakan untuk mempercepat penyelesaian perbedaan pendapat setelah klarifikasinya yang diberikan kepada Pemerintah Aceh mentok dan ditolak secara argumentatif. Pemerintah Pusat juga tidak ingin memakai hak “veto” atau pembatalan untuk meniadakan qanun ini. Pembatalan memang hak Pusat, tapi kalau dilakukan riskan dalam hubungan antara Aceh-Jakarta.

“Saya menawarkan supaya tim dari Aceh dan dari kita membahas item per item dari 12 evaluasi yang kita lakukan. Mereka prinsipnya mengatakan 2 prinsip itu telah disetujui perubahan. Tapi yang 10 ini perubahannya apa, ini masih dalam pembahasan,” ujar Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi  tentang bagaimana menerobos jalan buntuk penyelesaian qanun itu.

Gamawan mengatakan pihaknya menawarkan kepada pemerintah Aceh untuk membuat tim bersama. Dengan tim bersama itu, diharapkan tercapai kesepakatan dan kesepahaman dengan cepat.

“Saya bicara sama Pak Wagub Aceh, kemarin Pak Gub sudah berbicara dengan Menko. Sudah disampaikan juga dengan saran itu. Kita buat saja tim, kita buat bersama. Evaluasi poin 1 seperti apa jalan keluarnya. Dan seterusnya, jadi tim itu enak bekerja,” jelasnya.

Gamawan juga berharap seluruh poin yang dipersoalkan dalam qanun itu bisa selesai dalam waktu tidak lebih dari 60 hari. “Kan dalam 15 hari ini sudah dijawab evaluasi kita. Kan lebih cepat dijawabnya. Kita harapkan selesai (dalam 60 hari),” tutur Gamawan.

Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Otda Dhohermansyah Djohan pada 2 April 2013 lalu telah menemui Pemerintah Aceh untuk memberi sinyal agar Qanun Nomor 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh qanun Bendera dapat direvisi. Pemerintah memberi waktu hingga 15 hari bagi pemerintah Aceh merevisi qanun tersebut.

Ada 12 poin dalam qanun bendera dan lambang Aceh yang dinilai bermasalah. Keduabelas poin itu telah disampaikan pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh pekan lalu.

Pemerintah Aceh pun telah memberikan klarifikasi terhadap 12 poin tersebut. “Semua poin temuan itu sudah siap kita jawab satu persatu poin. Siap kita serahkan kepada Mendagri dalam tiga hari ini,” kata Ketua Baleg DPRA, Abdullah Saleh.

Sementara itu, Asisten Gubernur Aceh Iskandar Gani menyatakan, bila pemerintah pusat bisa menerima qanun tersebut  pemerintah Aceh tidak menyalahgunakan bendera yang akan menjadi lambang keistimewaannya. Bendera tersebut tetap akan bersanding dengan bendera merah putih dan berada pada posisi yang lebih rendah.

“Itu sudah diatur dalam qanun, bendera Aceh tidak akan berkibar lebih tinggi dibandingkan merah putih,” kata Iskandar.  Bendera Aceh, kata dia, hanyalah simbol dan identitas Nanggroe Aceh Darussalam.

Bendera merah putih, kata dia, murni menjadi lambang kedaulatan negara. “Itu harga mati,” kata Iskandar. Bendera Aceh, hanya dikibarkan pada hari-hari besar Aceh. Dia meminta agar pemerintah, teruatama TNI dan Polri, tidak terlampau trauma dengan bendera Aceh yang pernah menjadi bendera Gerakan Aceh Merdeka.

Iskandar menilai permasalahan bendera Aceh dipolitisasi. “Karena ada beberapa pihak yang tampaknya trauma dengan bendera itu,” ujar dia. Menurut dia, bendera Aceh memiliki filosofi khusus dalam berbagai simbolnya.

DPR Aceh dan pemerintah pusat bakal mendinginkan suasana terlebih dahulu terkait masalah qanun bendera. “Setelah ini baru dibahas solusinya,” kata dia.

Tags : slide