close
Nuga Life

Orang Jepang Tak Terobsesi dengan Seks

Kabar mengejutkan datang dari Jepang dalam hubungannya dengan seks.

Menurut laporan terbaru dari “bbc news,” sebagian anak muda di Jepang tidak lagi menjadikan seks pascanikah sebagai sesuatu hal yang menarik untuk dilakukan.

Dalam sebuah penelitian empat puluh tiga  persen masyarakat Jepang yang akan memasuki usia tiga puluhan tahun mengaku masih perjaka atau perawan.

Angka  itu, artinya hampir mencakup separuh generasi muda di Jepang.

Adapun penyebab mereka malas bercinta bisa bermacam-macam alasan seperti sebab tidak tertarik untuk melakukannya, cenderung minder atau takut dengan lawan jenis.

Sementara bagi perempuan di Jepang, berpikir kalau kebanyakan pria di Jepang sudah tak mau lagi berkencan akibat dari banyaknya film biru atau boneka seks yang beredar.

Pergeseran budaya seksualitas ini ternyata mampu menurunkan angka kelahiran di Jepang dengan sangat drastis pada tahun lalu.

Bahkan, sebuah penelitian berjudul National Institute of Population and Social Security Research menyebutkan, bahwa ada kemungkinan populasi Jepang akan menurun

Tak hanya semakin menurunnya minat untuk berhubungan intim, generasi paruh baya itu juga belum menikah.

Alasannya, rendahnya tekanan sosial yang meminta mereka untuk menikah itu kurang, pun mereka khawatir keuangan mereka menipis, mengingat biaya hidup di Jepang sangat tinggi.

Sementara itu Sydney Morning Herald, mengungkapkan perempuan lajang di Jepang  tidak punya ketertarikan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis.

Para peneliti kemudian mengutip data statistik tersebut untuk berpendapat bahwa sebagian besar orang Jepang tidak memiliki hasrat pada seks.

Mereka bahkan mungkin punya keengganan terhadap seks.

Ayumu Ochiai, peneliti yang berbasis di Tokyo, mengatakan, “Sebanyak empat puluh satu persen lebih pria berusia  Jepang tahun tidak pernah berkencan dengan siapa pun.”

Jumlah pria yang tidak memiliki pengalaman seksual berkurang seiring berlalunya waktu.

Hal itu tidak berarti bahwa mereka semua ingin tetap lajang. Ochiai mengatakan, penelitiannya menunjukkan bahwa hampir sembilan puluh persen kaum lajang ingin menikah pada akhirnya. Pemerintah Jepang memberikan perkiraan yang sama.

Namun, cukup mudah untuk menemukan orang Jepang yang punya sedikit minat dalam mengembangkan hubungan.

Yuki Kobari, berusia tiga puluhan tahun, mengatakan, dia pernah berkencan beberapa tahun lalu. Namun, menjalin hubungan dengan seseorang sekarang, kata dia, akan menjadi beban. Kini, waktu luangnya menjadi miliknya sendiri.

“Saya dapat menyibukkan diri dengan hobi saya dan melakukan apa yang saya inginkan,” ujarnya.

Pria itu mengakui bahwa hal itu mungkin tidak selalu menjadi preferensinya, meskipun ia merasa dirinya masih punya waktu sebelum harus khawatir tentang membuat komitmen.

Dia, katanya, masih punya waktu empat atau lima tahun untuk membuat keputusan.

Kebiasan memberikan dorongan terkait kurangnya minat akan pernikahan mengalami perubahan dalam adat istiadat sosial Jepang yang konservatif.

Sebanyak tiga puluh satu persen para lajang Jepang mengakui bahwa salah satu motivasi untuk memilih pasangan adalah agar bebas dari tekanan keluarga.

Namun, tekanan itu sekarang jelas berkurang ketimbang dulu. Lagi pula, dewasa ini lebih mudah untuk menjadi lajang.

“Dunia ini memadai untuk orang lajang sehingga tidak banyak ketidaknyamanan,” kata seorang pria Jepang lain yang berusia tiga puluhan-an tahun.

“Saya tidak bisa membayangkan ada orang lain dalam hidup saya.”

Hal itu, kata dia, dengan ragu-ragu, termasuk kemungkinan untuk punya mitra seks.

“Sejujurnya, pada dasarnya, saya bingung mengatakannya. Baiklah, saya tidak ingin ada orang lain dalam hidup saya, jadi seks termasuk bagian dari itu.”

Kota-kota besar Jepang menawarkan kenyamanan khusus buat kebutuhan para lajang, termasuk secara fisik.

Bahkan, boneka seks yang seakan mirip manusia hidup mudah ditemukan buat mereka yang ingin sentuhan manusia tanpa menyentuh manusia benaran.

Bagi banyak para lajang di Jepang, tampaknya, tidak ada kebutuhan untuk punya pasangan manusia benaran.

Krisis ekonomi Jepang yang panjang mungkin menjadi faktor lain yang membuat berat untuk membangun hubungan jangka panjang, terutama bagi perempuan.

Seorang perempuan berusia sekitar tigapuluhan, yang meminta untuk tidak diidentifikasi karena sifat pribadi topik ini, mengatakan bahwa terakhir kali dia punya pacar delapan tahun lalu dan saat ini dia merasa tidak membutuhkan hubungan fisik.

“Alasan utamanya adalah masalah keuangan,” katanya.