close
Nuga Life

Medsos Biang Remaja untuk Bunuh Diri?

Media sosial atau dikenal dengan medsos kembali jadi “tertuduh” pendorong maraknya aksi bunuh diri yang terjadi dikalangan remaja.

Seperti ditulis dalam laporan mendalam dan tajam malajah terkenal dunia “time,” media sosial bukannya menjadi daya dorong kreatifitas remaja tapi membuat mereka  depresi danmemicu keinginan bunuh diri

Lantas  apa kaitan media sosial dan kecenderungan bunuh diri?

Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention atau “cdc”, dalam rentang tahun lima tahun terakhir, angka kasus bunuh diri cenderung meningkat bersamaan dengan jumlah penggunaan media sosial di kalangan remaja di Amerika Serikat.

Padahal, dua dekade sebelumnya,saat media sosial belum ada, angka bunuh diri pada remaja AS cenderung menurun.

Para peneliti pun kemudian tertarik meneliti kaitan keduanya.

Hasil temuan penelitian ini kemudian dipublikasikan dalam jurnal Clinical Psychological Science.

Temuan peneliti menunjukkan, kasus bunuh diri baru-baru ini sering dikaitkan dengan bullying di dunia maya.

Selain itu, posting-an yang menggambarkan “kehidupan sempurna” seorang remaja juga dianggap berdampak pada kesehatan mental para remaja tersebut, kata peneliti.

“Setelah berjam-jam mengamati Instagram, saya hanya merasa makin buruk terhadap diri saya karena merasa ketinggalan,” kata Caitlin Hearty, seorang remaja di Colorado. Caitlin sempat membuat kampanye offline bulan lalu setelah beberapa remaja bunuh diri akibat media sosial.

Kampanye offline tersebut mengajak semua remaja untuk tidak menggunakan internet dan media sosial selama satu bulan penuh.

Kampanye ini telah diikuti oleh ratusan remaja.

Diambil dari data CDC, prevalensi remaja yang menggunakan peralatan elektronik, termasuk smartphone, setidaknya kurang lebih lima jam sehari

Lalu, kemungkinan remaja-remaja ini untuk memiliki pemikiran atau tindakan bunuh diri tujuh  persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menggunakan media sosial hanya satu jam dalam sehari.

Salah satu profesor psikologi di Universitas San Diego, Jean Twenge yang merupakan penulis utama penelitian ini mengajak para orang tua untuk mewaspadai pengaruh buruk media sosial.

“Kita perlu berhenti menganggap smartphone tidak berbahaya,” katanya dikutip di Time,

Twenge menjelaskan bahwa pada saat ini, para orang tua cenderung menganggap enteng permasalahan remaja dan media sosial.

“Memantau penggunaan anak-anak terhadap smartphone dan media sosial sangat penting untuk dilakukan, dan begitu juga memberikan batasan yang masuk akal,” lanjut Twenge.

Meski demikian, pandangan berbeda dilontarkan oleh Dr Victor Strasburger, spesialis pengobatan remaja dari University of New Mexico yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Dr Strasburger mengatakan, studi tersebut hanya menyiratkan adanya hubungan antara kasus bunuh diri remaja, depresi, dan media sosial.

Dia juga menyarankan adanya penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut untuk meyakinkan orang-orang yang skeptis mengenai bahaya media sosial.

“Saat toko buku murah, komik, dan televisi muncul, atau bahkan ketika masa rock and roll dimulai, orang-orang mengatakan, ‘Inilah akhir dunia’,” kata Dr Strasburger.

Banyak yang menyamakan contoh-contoh di atas dengan media sosial, tetapi Dr Strasburger menekankan bahwa ada bahaya media sosial yang memang harus diwaspadai.

“Ada unsur kedekatan, anonimitas, dan potensi untuk melakukan intimidasi, media sosial memiliki potensi yang unik untuk merugikan diri sendiri. Orangtua benar-benar tidak mengerti,” tutup ahli pengobatan remaja itu.