close
Nuga Life

Kopi, Si Hitam Itu Pernah Barang Haram

Kopi itu “candu?”

Ya, kopi itu candu

Disana orang menemukan teman

“Ketika gua ngopi, gua nemuin kenyamanan, ketenangan….. Gua merasa zen ketika gua minum kopi, gua merasa lebih tenang, ibaratnya lu lagi meditasi,” kata Faris Izzi Hibaturrahman.

Izzi sempat magang di ‘warung kopi’ di Inggris, Two Gingers Coffee Shop, saat kuliah di University of Hull.

Makanya, tiga empat abad silam, para rohaniwan dan sebagian penguasa sempat menaruh syak wasangka melihat orang-orang mulai tergila-gila dengan kopi.

Apalagi saat banyak orang berkumpul di warung kopi, berdebat dan membicarakan persoalan di sekitar, termasuk urusan politik.

Dengan dalih warung kopi punya potensi menjadi sumber kebangkitan sekularisme, Gubernur Mekah, Khair Beg, memerintahkan menutup semua warung kopi di wilayahnya.

Mereka yang tertangkap minum, apalagi menjual kopi, akan dihukum. Namun larangan itu dianulir oleh Kaisar Ottoman, Sultan Salim I, atas rekomendasi Mufti Agung Mehmet Ebussuud al-Imadi.

Namun tak berarti tak ada lagi yang menentang warung kopi. Beberapa ulama curiga, kopi bisa memabukkan. Pada waktu itu, mereka mengusulkan agar minum kopi terlarang bagi umat muslim. Ada dua dokter di Persia menyokong usul pelarangan kopi ini.

“Para pengkritik kopi menyamakannya dengan minum anggur. Alasan itu lah yang selalu mereka pakai untuk melarang kopi,” kata Calestous Juma, profesor di Universitas Harvard, dikutip BusinessInsider.

Saat itu, abad keenam belas, bahkan bertahun-tahun sebelumnya, kopi memang sudah menjadi minuman populer di jazirah Arab dan wilayah Imperium Ottoman.

Abdul Qadir al-Jaziri menulis artikel soal kopi bertajuk Umdat al safwa fi hill al qahwa. Menurut al-Jaziri, ulama pertama di Semenanjung Arab yang mencicipi kopi adalah Sheikh Jamaludin al-Dhabhani, mufti dari Aden, Yaman,

4. Kopi, kata Sheikh al-Dhabhani, berkhasiat mengusir lelah dan lesu.

Dari Yaman, al-Jaziri menelusuri, kopi menyebar ke Mekah dan Madinah, kemudian ke Kairo, Damaskus, hingga mencapai Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Ottoman (kini Istanbul, Turki) pada pertengahan abad ke lima belas. Johann Vesling, ahli tanaman asal Jerman, menuliskan pengalamannya saat melawat ke Mesir

Saat tiba di Kairo, dia terkesan melihat begitu banyaknya warung kopi di kota itu. Dia menaksir, ada lebih dari seribu warung kopi di seantero Kairo.

“Tak hanya di Mesir kopi disukai banyak orang, tapi juga di provinsi-provinsi lain di wilayah Imperium Ottoman,” Vesling menulis, seperti dikutip William Harrison Ukers dalam bukunya, All About Coffee.

Ukers menduga, lewat wilayah Imperium Ottoman yang membentang dari jazirah Arab hingga Eropa Selatan, kopi menyeberang ke Eropa bagian selatan seperti Italia dan Prancis.

Makanya tak heran jika orang-orang Italia kenal kopi lebih dulu ketimbang orang-orang Inggris.

Tak hanya di Mesir kopi disukai banyak orang, tapi juga di provinsi-provinsi lain di wilayah Imperium Ottoman’

Konon, pada awal 1600-an, beberapa rohaniwan di lingkungan gereja mengusulkan kepada Paus Clement VIII agar melarang umat Katholik minum kopi.

Para rohaniwan ini beralasan, kopi merupakan penemuan setan. Namun Paus Clement tak segera mengabulkan usul itu. Alih-alih melarang, dia malah ingin mencicipi kopi yang dianggap sebagai minuman setan itu.

Sekali mencicipi kopi, Paus Clement malah terkesan dengan aroma dan rasanya yang sangat kuat. “Mengapa minuman setan ini begitu sedapnya?

Sungguh sayang jika hanya orang-orang kafir yang menikmatinya. Kita harus memperdaya setan dengan membaptiskannya dan menjadikannya minuman bagi umat Kristen,” kata Paus Clement, dikutip Ukers dalam bukunya.

Penguasa berganti, berubah pula sikapnya terhadap kopi. Sultan Murad IV yang menjadi penguasa Imperium Ottoman, melarang konsumsi tembakau, minuman beralkohol dan kopi.

Dia menerapkan hukuman sangat keras, bahkan hukuman mati, bagi siapa pun yang melanggarnya. Kabarnya, demi menegakkan perintahnya, kadang Sultan Murad menyamar sebagai rakyat biasa untuk memantau pelaksanaan aturannya.

Gara-gara larangan Sang Sultan, para pedagang kopi di wilayah Kekaisaran Ottoman banyak yang lari ke Prancis, Italia, dan Austria.

Satu demi satu warung kopi bermunculan di Inggris, Belanda, hingga Prancis. Pasqua Rosee, salah satu pembantu saudagar Inggris, Daniel Edwards, membuka warung kopi pertama di Cornhill, London, Inggris,  warung kopi pertama di Belanda dibuka di Den Haag.

Salah satu ‘warung kopi’ tua yang masih bertahan sampai hari ini adalah Le Procope di Paris, Prancis.

Kafe ini didirikan oleh Francesco Procopio dei Coltelli, juru masak keturunan Italia, Le Procope, juga Cafe de Foy, segera menjadi tempat kongkow-kongkow yang asyik bagi para intelektual di Paris hingga ratusan tahun kemudian.

Bahkan, di kafe ini lah, Maximilien Robespierre, Georges Danton, Jean Paul Marat, dan tokoh-tokoh pergerakan di Paris berdiskusi dan berdebat hingga melahirkan Revolusi Prancis.

Di Inggris, hanya sepuluh tahun setelah Rosee membuka warung kopi di London, warung-warung kopi lain bermunculan hingga ada hampir delapan puluh  kafe di kota itu.

Jumlah warung kopi di London sudah berlipat menjadi lima ratus kafe. “Minum kopi menjadi kegemaran baru di antara pedagang-pedagang di Inggris,” kata Markman Ellis, penulis buku The Coffee House: A Cultural History.

Tapi kecurigaan terhadap kopi belum juga sirna.

Pada waktu itu, muncul pamflet bertajuk The Women’s Petition Against Coffee. Tak jelas benar siapa penulis pamflet ini, apakah benar dia seorang perempuan dan apakah isi pamflet itu mewakili suara perempuan-perempuan di Inggris.

Yang pasti, sebagian besar isi pamflet itu menulis soal dampak buruk dari minum kopi. Salah satunya konon menyebabkan impotensi pada laki-laki.

Setahun setelah pamflet itu, Raja Inggris Charles II memerintahkan penutupan semua warung kopi. Raja Charles II menitahkan pemberangusan warung kopi setelah ditemukan puisi yang meramalkan kejatuhannya di salah satu kafe.

Namun perintah itu hanya bertahan dua pekan. Setelah mendapatkan tekanan dari banyak pihak, Raja Charles II menarik kembali perintah penutupan warung kopi.

“Aku menduga, dia teringat dengan nasib ayahnya yang mati dipenggal…Dia khawatir memicu lagi banyak masalah,” ujar Mark Pendergrast, penulis buku Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World, dikutip NPR.

Raja Charles I dihukum mati lantaran dituduh telah berkhianat. Dan hari ini, tiga setengah abad kemudian, minat kopi tak pernah mati, justru makin digemari.