close
Nuga Life

Jangan Pernah Sepelekan Pertanyaan Anak

Anda tentu mengalami betapa sulitnya menjawab pertanyaan kritis seorang anak. Anda tentu sulit memberi respons cepat karena takut membawa dampak negatif.

Nah. Semua orang tua tentu juga pernah mengalami bagaimana mencari jawaban a positif atas pertanyaan si kecil, karena menyadarinya bisa membantu proses berpikir dan tingkat pemahaman anak

Pertanyaan ini tentu tidak asing lagi untuk Anda sebagai orang tua.

“Bu, mengapa burung bisa terbang?

Kok pohon berbuah sih?

Apa nama kendaraan beroda tiga itu?”

Duh, si prasekolah terkadang bikin mumet dengan berbagai pertanyaannya yang tak kenal waktu.
Kalau sudah kehabisan akal, tak jarang orangtua berujar, “Aduh Kakak bawel amat sih!”

Atau pertanyaannya yang dianggap sepele atau tak logis ditanggapi dengan jawaban asal-asalan. “Pohon berbuah? Ya…memang dari sononya begitu. Sudah, ah, Papa mau baca koran lagi!”

Respons orangtua yang asal-asalan seperti itu tentu amat tidak disarankan.

Paling bijak tanggapi apa pun pertanyaan anak. Mulai dari yang sepele hingga serius secara positif.

Respons yang baik akan membantu proses berpikir dan pemahaman si prasekolah kelak. Juga tak masalah jika ia ternyata masih belum puas dengan jawaban yang diberikan lantas bertanya lagi, lagi, dan lagi.

Orangtualah yang mesti siap menghadapi “gempuran” pertanyaan itu. Misalnya dengan lebih rajin membaca buku agar wawasan dan pengetahuan kita makin bertambah.

Seiring perkembangan otaknya yang pesat, anak-anak pada usia dua sampai tujuh tahun memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.

Tidak mengherankan jika pada masa itu anak-anak banyak bertanya tentang segala hal.

Sayangnya, tak jarang orang tua yang justru tak mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan anak. Ibu sering dibuat pusing dengan banyaknya pertanyaan sehingga menyuruh anak untuk diam.

“Jangan abaikan pertanyaan anak yang biasanya bertubi-tubi, berikan jawaban bahkan ketika Anda tidak tahu.”

Ketika orang tua tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan anak-anaknya, mintalah waktu kepada anak untuk mencari tahu.

“Dengan begitu, anak juga akan belajar bahwa ibunya berusaha untuk dia. Jika anak bertanya pada orang lain, justru bisa jadi merugikan anak.”

Kerugian tersebut di antaranya anak tidak akan berani untuk bertanya dan seringkali bersikap defensif atau tidak mau bercerita pada orang tuanya sendiri, bahkan ketika ditanya.

Yang lebih bahaya, jika anak bertanya pada orang yang salah.

“Misalnya ketika tiba anak bertanya soal bagaimana rasanya disunat. Ada kasus, anaknya diminta membuka celananya. Anak bisa dimanfaatkan dan mungkin akan terjadi kekerasan seksual.”
.
Nnah, pernahkah Anda mendapati anak-anak sedang berbicara dengan bonekanya?

Atau sedang berperang dengan sesosok raksasa walau tak ada siapa-siapa di depannya?

Usia pra sekolah, menurut Piaget, anak-anak berada dalam fase pre-operasional. Pada fase tersebut, anak-anak sedang mengalami perkembangan bahasa yang pesat.

Semakin berkembang bahasa, semakin kompleks imajinasinya

Banyak orang tua yang khawatir saat anaknya berimajinasi. Padahal hal tersebut normal karena menandakan otak atau kecerdasan kognitif anak sedang berkembang.

Anak-anak berfantasi bisa terbang layaknya Superman dengan memakai sprei sebagai pengganti sayap. Saat ingin melompat, anak berpikir dia bisa benar-benar terbang. Hal itu tentu berbahaya bagi anak.

Orang tua harus mengingatkan dengan penjelasan yang baik bukannya membentak tidak membolehkan. Orang tua harus membantu membedakan mana yang realitas, mana yang imajinasi.

Di samping itu, fantasi atau imajinasi yang terlalu jauh juga bisa membuat anak tidak dipercaya oleh orang sekitarnya. Walau demikian, orang tua tidak boleh mengekang imajinasi anak selama anak dalam tahap perkembangannya.