close
Nuga Life

Instagram “Tertuduh” Perusak Mental

Instagram kini jadi “tertuduh”  sebagai perusak mental  terkait dengan tingkat kecemasan yang tinggi, depresi, dan bullying yang dialami penggunanya.

Ya, Instagram, aplikasi untuk berbagi foto, seperti ditulis majalah prestise dan terkenal di dunia, “time,” dalam laporan mingguan terbarunya,   dianggap sebagai media sosial yang paling buruk bagi kesehatan mental dan jiwa.

Tulisan “time” ini didasarkan dari kesimpulan survei terhadap seribu lima ratus remaja dan orang dewasa muda di Inggris.

Walau media sosial ini banyak disukai karena bisa menjadi platform untuk menampilkan ekspresi diri, namun Instagram juga berkaitan dengan tingkat kecemasan yang tinggi, depresi, bullying, dan FOMO atau fobia ketinggalan berita di jejaring sosial.

Dari lima media sosial yang dimasukkan dalam survei ini, YouTube mendapat nilai tertinggi untuk kesehatan dan kesejahteraan mental.

Aplikasi berbagi video ini juga satu-satunya yang mendapat nilai positif dari para responden.

Twitter berada di urutan kedua, diikuti oleh Facebook, kemudian Snapchat, dan terakhir Instagram.

Suvei #StatusOfMinde yang dipublikasikan oleh United Kingdom’s Royal Society for Public Health ini melibatkan masukan dariseribu empat ratus tujuh puluh sembilan orang muda  dari seluruh Inggris Raya.

Survei dilakukan pada Februari – Mei tahun nini.

Para responden menjawab pertanyaan tentang perbedaan dari pengaruh sosial media pada empat belas isu yang terkait dengan kesehatan fisik dan mental.

Tak dipungkiri ada beberapa manfaat dari jejaring sosial.

Hampir semua media sosial itu mendapat nilai positif dalam hal menunjukkan ekspresi diri, identitas diri, membangun komunitas, dan juga dukungan emosional.

YouTube juga mendapat nilai tinggi untuk memberi kesadaran pada banyak orang mengenai pengalaman menyehatkan karena mampu menyediakan akses pada informasi kesehatan terpercaya.

Selain itu, YouTube juga dianggap dapat menurunkan level depresi, kecemasan, dan kesepian.

Di lain pihak, ditemukan sisi negatif dari lima platform media sosial itu, terutama menurunnya kualitas tidur, bullying, citra tubuh, dan FOMO.

Tidak seperti YouTube, keempat media sosial lainnya terkait dengan meningkatkan depresi dan kecemasan.

Penelitian sebelumnya menyebutkan, orang muda yang menghasikan waktunya lebih dari dua jam sehari untuk berselancar di media sosial cenderung mengalami tekanan psikologis.

“Sering melihat teman atau orang yang selalu bepergian atau bersenang-senang, bisa membuat orang muda merasa ketinggalan karena orang lain seperti sedang menikmati hidup.

Perasaan ini akan membuat mereka selalu membandingkan dan merana,” tulis hasil survei itu.

Media sosial juga bisa memberi harapan yang tidak realistik dan menciptakan perasaan ketidakcukupan serta kepercayaan diri rendah.

Hal itu bisa menjelaskan mengapa Instagram mendapat nilai terburuk dalam hal citra tubuh dan kecemasan.

Salah satu responden menulis, “Instagram denga mudah membuat gadis dan wanita merasa tubuh mereka kurang ideal sehingga banyak orang mengedit fotonya agar mereka tampak sempurna”.

Semakin sering orang muda membuka media sosial, makin besar pula mereka merasa depresi dan cemas.

Untuk mengurangi efek buruk media sosial pada orang muda, the Royal Society meminta pembuat media sosial untuk melakukan perubahan.

Mereka merekomendasikan agar ada notifikasi jika penggunaan media sosial sudah terlalu lama.

Sekitar tujuh puluh satu persen responden medukung ide tersebut.

Bukan hanya itu, pencipta media sosial juga sebaiknya membuat cara untuk menunjukkan sebuah foto yang terlalu banyak manipulasi digital

Menurut sebuah survei lainnya,  yang dilakukan oleh Aviva, perusahaan asuransi berbasis di London, terungkap, kebanyakan responden mengatakan merasa terganggu dengan unggahan foto  orang lain.

Alasannya bisa karena rasa iri atau tak suka dengan sifat pamer namun seolah-olah rendah hati dari foto-foto liburan tersebut.

Apalagi jika seseorang mengunggap cukup banyak foto, bahkan kegiatan perhari dipamerkan.

Bukan hanya itu, menampilkan foto-foto itu dinilai berbahaya.

“Kebiasaan ini bisa berbahaya karena seperti mengiklankan rumah kita kosong. Menampilkan tempat kita dan  juga memudahkan seseorang menjumpai Anda di tempat itu, terutama jika follower di media sosial cukup banyak,” tulis laporan dari Aviva.

“Jika Anda benar-benar tak tahan untuk membagikan foto, paling tidak buatlah unggahan pada kelompok terbatas yang berisi teman yang dipercaya dan keluarga,” sarannya