close
Nuga Life

Ini Ancaman untuk “Si Perfeksionisme”

Jurnal Review of General Psychology, Senin, 19 September 20156, menurunkan tulisan  tentang bahaya yang mengintai para perfeksionis atau mereka yang mengaku seorang perfect.

“Perfeksionis cenderung rentan terhadap stres, depresi dan punya rasa takut berlebihan,” tulis jurnal itu sebagai kata pembuka.

Bahkan jurnal tersebut menulis, para perfeksionis cenderung punya keinginan bunuh diri lebih tinggi.

Profesor Psikologi Klinis dari Smith College, Patricia DiBartolo, menyebutkan perfeksionisme sebenarnya bisa mendukung karir seseorang.

“Mereka yang perfeksionis biasanya kompetitif, punya semangat tinggi, dan ingin jadi yang terbaik,” kata DiBartolo, dilansir Fox News.

Namun, di sisi lain, jika sifat perfeksionis ini terus-menerus dipupuk, maka bisa jadi masalah yang mengganggu.

Tidak hanya karir, tapi juga kehidupan.

Ada lima baha  mengintai para perfeksionis

Pertama, terus menunda pekerjaan. Orang yang perfeksionis biasanya ingin pekerjaan cepat diselesaikan, secara sempurna tentu.

api, dalam kasus yang parah, perfeksionisme justru bisa membuat seseorang malas hingga ke level ekstrem.

“Mereka terlalu khawatir tidak bisa mengerjakan segala sesuatu dengan sempurna, dan hal itu membuat mereka lumpuh,” kata DiBartolo.

Imbasnya, mereka justru menunda tugas yang harusnya dikerjakan sehingga molor dari deadline.
“Mereka ingin semuanya sempurna, dan jika tidak ada yang sempurna di mata perfeksionis, mereka justru diam di tempat dan itu terus menjadi lingkaran setan.”

Punya rasa cemas berlebihan. Si perfeksionis biasanya sangat cemas jika harus bertanggung jawab atas proyek besar, mulai dari presentasi hingga mengambil keputusan yang menyangkut masa depan pekerjaan.

Rasa cemas ini justru membuat para perfeksionis berubah agresif di level sosial. Mereka juga tidak bisa menerima kritik dan berubah emosional saat ada kritik yang ditujukan pada mereka.

“Mereka cemas dianggap bodoh atau tidak kompeten, imbasnya mereka jadi agresif dan cenderung bersifat menyerang orang lain,” kata Psikolog Thomas S. Greenspon.

Meangharamkan hal baru. Menjadi perfeksionis dalam segala aspek kehidupan adalah hal yang melelahkan.

Ini membuat para pengejar kesempurnaan malas melakukan sesuatu yang baru. Alasannya, takut dianggap tidak kompeten.

“Mereka sebenarnya ingin mencoba hal baru, tapi ketakutan dan kecemasan akan penilaian publik jika mereka gagal, membuat mereka tidak ingin melakukannya,” ujar DiBartolo.

lainnya, keinginan menjadi sempurna terus-menerus bisa menyabotase hubungan dengan teman, keluarga, pasangan, bahkan teman sekerja.

Para perfeksionis akan terus melemparkan kritik dan menganggap mereka benar.

“Itu bisa membuat orang-orang di sekeliling mereka tertekan karena para perfeksionis tidak bisa menerima sudut pandang lain,” terang Greenspon.

Jika perfeksionisme sudah berada di level ekstrem, mereka bisa jadi memilih menjauhkan diri dari lingkungan karena tidak ingin menerima kritik.

“Para perfeksionis hanya akan mengakui kesalahan pada diri sendiri, tapi tidak fengan orag lain,” kata DiBartolo. “Mereka tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa mereka gagal.”

Untuk itu, DiBartolo mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna. “Kegagalan adalah hal yang biasa dan membuat kesalahan tidak berarti Anda tidak bisa memperbaikinya,” ujar dia.

Lebih lanjut, dia menyebut penanganan terhadap perfeksionis ekstrem bisa dilakukan melalui terapi kognitif yang menantang cara berpikir serba sempurna.

“Membuat satu kesalahan tidak sama dengan kegagalan, disitulah terapi kognitif bekerja untuk mengubah cara pandang perfeksionis,” ungkapnya