close
Nuga Life

Epidemi Obesitas Akibat Makan Murahan

Makan murah dengan porsi besar telah menjerumuskan Ameriksa serikat sebagai negara dengan penduduk obesitas terbesar di dunia. Sementara itu Inggris mulai memberlakukan pengurangan porsi makan di restorannya untuk menghentikan laju obesitas di negara itu.

USA kini sedang menghadapi epidemi obesitas di hampir seluruh kelompok masyarakatnya. Sebuah riset terbaru menduga makanan murah adalah penyebabnya.

“Makanannya bukan hanya jadi lebih murah, tapi juga mudah didapatkan dan disiapkan. Kita juga tak hanya menyantap makanan tinggi kalori lebih banyak, tapi semua jenis makanan,” jelas Roland Sturm, penulis studi sekaligus ahli ekonomi senior di RAND, sebuah organisasi riset nirlaba.

Bersama Ruopeng An dari University of Illinois at Urbana-Champaign, Sturm mengatakan bahwa orang Amerika lebih sedikit menyisihkan pendapatan (atau usaha yang dikeluarkan) untuk makanan dibanding masyarakat lain dalam sejarah atau di dunia. Namun, orang Amerika justru memperoleh kenaikan berat badan lebih banyak.

Menurut riset yang dimuat di ‘CA: A Cancer Journal for Clinicians’ ini, pada tahun tiga puluhan, orang Amerika menghabiskan seperempat dari pendapatan mereka untuk makanan. Angka ini berkurang jadi seperlimanya pada lima puluhan, dan kini turun lagi jadi kurang dari sepersepuluhnya.

Sebelumnya beredar teori terkait alasan orang Amerika jadi semakin gemuk. Dikatakan karena buah dan sayur segar sulit didapatkan, tingkat olahraga menurun, serta kurangnya waktu untuk berolahraga dan makan dengan lebih baik.

Namun, penelitian ini menyangkal semuanya. Sayur dan buah justru semakin tersedia di mana-mana. Tingkat olahraga dan waktu luang juga malah semakin tinggi. Peneliti berpendapat, alasan yang paling mungkin adalah orang Amerika menikmati makanan termurah dalam sejarah.

Banyak faktor yang disebut-sebut sebagai alasan terus menanjaknya angka obesitas selama beberapa dekade lalu hingga menyebabkan dua dari tiga orang Amerika gemuk atau obesitas. Di antaranya produk camilan dan makanan cepat saji, porsi yang besar, vending machine, meningkatnya penggunaan mobil, serta menghabiskan banyak waktu di depan TV dan komputer.

Bagaimanapun juga, makanan murahlah yang memiliki kaitan paling kuat dengan obesitas. Studi RAND juga menemukan bahwa obesitas adalah ancaman besar bagi orang Amerika di mana-mana, tak peduli di mana mereka tinggal dan dalam kelompok sosial apa mereka bergabung.

Menurut studi ini, fokus terhadap mengurangi asupan kalori, khususnya dari minuman berpemanis gula dan camilan asin, bisa jadi cara yang lebih baik untuk mengurangi angka obesitas. Dibandingkan upaya menghimbau orang Amerika makan buah dan sayur serta berolahraga lebih giat.

Menghadapi “wabah” obesitas ini, Inggris mengambil langkah pragmatis dengan mencanangkan peraturan, memperkecil porsi makanan di restoran.

Restoran harus memotong satu inci atau sekitar dua setengah centimeter dari ukuran pizza dengan biaya yang sama sehingga mereka dapat mengambil keuntungan yang lebih besar. Sekaligus membantu memerangi obesitas.

Menurut rekomendasi yang ditulis dalam situs Department of Health tak hanya pizza akan tetapi gerai makanan lain seperti kari, potato chips dan beberapa makanan lain juga harus mengurangi ukuran porsinya.

Seperti yang dikutip dari Mirror beberapa waktu lalu, untuk keripik disarankan untuk memotong lebih tebal agar menyerap sedikit lemak. Hal ini berarti penurunan konsumsi lemak. Toko sandwich harus menghidangkan keju dalam bentuk parutan bukan potongan ataupun lembaran.

Menurut Dr. Dame Sally, hal ini dilakukan karena, banyak orang yang tidak mengenali bahwa mereka memiliki masalah berat badan. Sedangkan data menunjukkan bahwa 52 persen laki-laki kelebihan berat badan dan sebanyak 30 persen wanita gemuk berpikir bahwa berat badan mereka masih ideal.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian orang makan lebih banyak dari kebutuhan yang seharusnya. Cara ini dapat digunakan sebagai pengendali ukuran porsi dan mengatur pemakaian sedikit lemak, garam dan gula.

sumber : daily mail, mirror dan washington post