close
Nuga Life

Deja vu Itu Halusinasi Paling Ajaib?

Deja vu. Banyak orang mengalaminya. Tapi hanya sedikit orang yang tahu ia sedang dihinggapi oleh déjà vu.

Anda pernah mengunjungi sebuah toko untuk pertamakalinya? Merasa akrab dengan tempat tersebut? Atau mungkin, ketika asyik mengobrol dengan teman, tiba-tiba merasa sudah pernah memiliki percakapan persis seperti itu sebelumnya, meski Anda tahu itu belum terjadi?

Sebagian di antara kita pernah mengalami berada di tempat baru, merasa yakin pernah ada di situ sebelumnya.

Perasaan misterius ini dikenal sebagai deja vu. Terjadi di saat seseorang merasakan situasi baru yang akrab, meskipun ada bukti peristiwa itu tidak terjadi sebelumnya.

Kalau pernah mengalami salah satu situasi tersebut, berarti Anda mengalami deja vu.

Anda mengalami “halusinasi” paling ajaib tanpa pernah menyadarinya secara utuh.

Anda mengalaminya?

Setidaknya Anda pernah mengalaminya satu kali dalam hidup.

Penglihatan, suara, rasa, bahkan bau sesuatu dapat membuat seseorang berpikir pernah mengalami hal tersebut sebelumnya, meski tahu bahwa tidak pernah mengalaminya.

Dikutip dari laman situs “science.howstuffwork,” deja vu adalah istilah Perancis yang secara harfiah berarti ‘telah melihat’.

Ada beberapa variasinya, termasuk deja vecu, pernah mengalami; deja senti, pernah berpikir tentang suatu hal; dan deja visite, pernah mengunjungi.

Tercatat, seorang ilmuwan Perancis, Emile Boirac, menjadi orang pertama yang mempelajari fenomena aneh tersebut, yang sekaligus menamainya.

Seringkali muncul referensi untuk deja vu, padahal bukan deja vu.

Namun begitu, umumnya deja vu digambarkan sebagai perasaan pernah melihat atau mengalami sesuatu saat seseorang belum tahu.

Istilah deja vu sering diartikan sebagai pengalaman pra-kognitif. Yakni pengalaman ketika seseorang memiliki perasaan mereka tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya, dan kejadiannya.

Perbedaan utamanya, deja vu dialami selama peristiwa tersebut, bukan sebelumnya.

Halusinasi yang disebabkan oleh penyakit atau obat kadang-kadang membawa kesadaran tinggi, yang kerap seseorang bingung dengan kondisi deja vu.

Kenangan palsu seorang pengidap schizophrenia juga bisa keliru dengan deja vu. Tak seperti deja vu asli, yang biasanya berlangsung dari sepuluh sampai tiga puluh detik, kenangan palsu atau halusinasi bertahan lebih lama.

Deja vu paling umum adalah deja vu asosiatif, yang dialami oleh orang-orang sehat, normal yang mengasosiasikannya dengan alam.

Seseorang melihat, mendengar, mencium, atau mengalami sesuatu yang menggugah perasaan, pernah melihat, mendengar, mencium, atau mengalami sesuatu sebelumnya.

Banyak peneliti berpikir, jenis deja vu ini adalah pengalaman berbasis memori.
Menganggap pusat memori di otak bertanggungjawab akan hal tersebut.

Deja vu juga terjadi dengan beberapa prediktabilitas gangguan kejiwaan, termasuk kecemasan, depresi, gangguan disosiatif, dan skizofrenia.

Dilansir dari laman Psychologicalscience, otak berfluktuasi di antara dua jenis memori pengenalan, yaitu ingatan dan keakraban.

Pengenalan berbasis ingatan terjadi saat seseorang bisa menentukan sebuah contoh ketika situasi saat ini telah terjadi sebelumnya.

Misalnya, saat melihat seorang lelaki yang akrab di toko dan menyadari bahwa kita pernah melihat dia sebelumnya di dalam bus. Di sisi lain, pengenalan berbasis keakraban terjadi ketika situasi saat ini terasa akrab. Namun, kita tidak ingat kapan itu terjadi sebelumnya.

Contohnya, kita melihat orang asing yang dirasa akrab di sebuah toko, tetapi kita

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang merasa akrab saat ditampilkan fragmen visual yang mengandung bentuk geometris dari pengalaman sebelumnya.
Ini artinya, bentuk-bentuk geometris yang akrab dapat menciptakan perasaan bahwa seluruh adegan baru tersebut pernah dia lihat sebelumnya.

Deja vu sangat sulit dipelajari karena terjadi singkat, tanpa pemberitahuan, hanya pada orang-orang tertentu, juga tanpa saksi atau bukti fisik lain. Itu sebabnya, hanya ada sedikit penelitian kuat dan penjelasan tentang deja vu.

Sigmun Freud berteori, pengalaman ini dihasilkan dari keinginan yang ditekan atau kenangan yang terkait dengan peristiwa yang membuat stres, yang tidak lagi bisa diakses sebagai memori biasa.

Selama bertahun-tahun, banyak ilmuwan mengabaikan deja vu sepenuhnya karena kerap diasosiasikan dengan pengalaman hidup masa lalu, extrasensory perception, bahkan penculikan oleh alien.
Asosiasi tersebut membuahkan stigma terhadap penelitian deja vu.

Beberapa peneliti melaporkan, semakin stres dan lelah seseorang, maka semakin besar kemungkinan dia mengalami deja vu. Peneliti lain justru melihat sebaliknya. Mereka melaporkan, semakin segar dan santai seseorang, semakin besar kemungkinan dia mengalami deja vu.

Temuan lain melaporkan, semakin berpikiran terbuka pikiran atau politik liberal seseorang, semakin besar kemungkinannya mengalami deja vu.

Psikiater Belanda, Hermon Sno, mengusulkan gagasan bahwa kenangan diibaratkan seperti hologram. Artinya, seseorang dapat menciptakan kembali gambar seluruh gambar tiga dimensi dari setiap keseluruhan fragmen. Semakin kecil fragmen, semakin tidak jelas gambar utamanya.

Teori lain didasarkan pada cara otak memproses informasi baru, serta bagaimana menyimpan kenangan jangka panjang dan jangka pendek. Robert Efron mengujinya ide tersebut pada Rumah Sakit Veteran di Boston pada 1963, dan jadi teori valid sampai hari ini.

Dia mengusulkan, respons neurologis tertentu menyebabkan deja vu. Karena, informasi memasuki pusat pengolahan otak melalu lebih dari satu jalur. Ada kemungkinan jika terkadang pencampuran informasi tidak menyingkron dengan benar.

Dia menemukan, lobus temporal di otak kiri bertanggungjawab untuk memilah informasi yang masuk.