close
Nuga Life

Apakah Manusia Kini Semakin Bodoh?

Sebuah studi terbaru, yang dilakukan oleh seorang profesor Stanford University, datang dengan kabar mengejutkan berupa munculnya  mutasi otak  yang membuat manusia semakin bodoh.

“Kemampuan intelektual tertinggi pada manusia terjadi saat manusia berada di era nonverbal dan liar. Saat itu, mereka harus memikirkan cara-cara untuk tidak dimakan oleh binatang liar,” kata Gerald Crabtree, peneliti utama dari studi yang diterbitkan dalam jurnal Trends in Genetics, seperti dilansir New York Daily News,.

Kelangsungan hidup menjadi kunci utama dalam memaksimalkan kerja otak. Demi untuk bertahan hidup, manusia terdorong untuk menjadi lebih cerdas.

Namun, pembangunan pertanian dan peningkatan hidup perkotaan telah melemahkan proses seleksi alam dan menurunkan kecerdasan tersebut.

Mutasi otak – yang dibawa oleh kemajuan masyarakat membuat manusia bertahan pada kehidupan yang tidak stres, yang pada akhirnya mengikis kemampuan intelektual dan emosional mereka. Gerald bahkan memprediksi dalam tiga ribu  tahun ke depan, manusia akan mengalami dua mutasi atau lebih, yang berbahaya bagi stabilitas intelektual dan emosional kita.

“Mutasi ini akan membahayakan fungsi intelektual manusia dan kita harus tahu bagaimana masing-masing mutasi dapat berinteraksi antara satu sama lain dan adanya proses lain, seperti pengaruh lingkungan,” tuturnya.

Para ilmuwan masa lalu berusaha keras untuk mengubah dunia. Sayangnya, perubahan itu kini membuat manusia semakin malas untuk berupaya. Bahkan, hampir semua pekerjaan manusia telah digantikan oleh robot.

Apakah benar manusia makin bodoh?

Sebuah  penelitian terbaru lainnya dari Islandia mengungkapkan bahwa jika gen yang mempengaruhi kita untuk menghabiskan bertahun-tahun di sekolah makin sedikit jumlahnya, mungkin saja IQ kita akan turun dalam beberapa dekade ke depan.

Namun para peneliti menegaskan hal tersebut sedikit lebih rumit daripada kelihatannya.

Untuk penelitian ini, para peneliti menggunakan data dari seratus ribu orang di Islandia. Gen pendidikan yang diteliti peneliti sendiri didapatkan dari “skor poligenik”, yang merupakan ukuran mentah yang digunakan untuk memprediksi hasil tertentu.

Menurut laporan Scientific American pada lalu, skor poligenik suatu saat dapat digunakan untuk memprediksi kesuksesan akademis.

Selanjutnya, para peneliti mempublikasikan temuan mereka dalam jurnal the Proceeding of the National Academy of Science pada Desember dua tahun silam

Temuan ini mengungkapkan beberapa hal, termasuk bahwa gen pendidikan ini mempengaruhi ukuran keluarga.

Hal itu terjadi karena gen pendidikan ini juga mempengaruhi kesuburan seseorang. Orang yang memiliki “gen pendidikan” lebih banyak cenderung memiliki lebih sedikit anak.

Namun peneliti menegaskan hal itu bukan karena pendidikan tinggi atau peluang karir yang menyebabkan kecenderungan tersebut.

“Bukan karena pendidikan, atau peluang karir yang mencegah Anda memiliki lebih banyak anak,” kata Kari Stefansson, pemimpin penelitian tersebut dikutip dari The Guardian.

“Jika Anda secara genetik cenderung memiliki banyak pendidikan, Anda juga cenderung untuk punya lebih sedikit anak,” imbuhnya.

Temuan ini juga menyebut bahwa jika tren ini berlanjut, maka hal ini dapat menyebabkan penurunan IQ. Penurunan IQ yang disebut dalam temuan tersebut adalah sekitar 0,04.

Sekilas mungkin angka tersebut terlihat kecil, tapi jika selama bertahun-tahun maka akan membuat perbedaan yang cukup besar.

“Efek kumulatif dari waktu ke waktu akan memiliki efek dramatis pada kecenderungan genetid terhadap pencapaian pendidikan, kecuali jika ada sesuatu untuk mengatasi hal itu, maka akan memiliki efek mendalam pada pencapaian pendidikan di masyarakat kita,” ungkapnya.

Temuan ini mendapatkan beragam reaksi dari para ilmuwan lain. Melinda Mills, seorang profesor sosiologi di Oxford University menyebut genetika hanya sedikit berpengaruh pada pendidikan.

“Ada sejumlah penelitian yang mengatakan bahwa kita semakin bodoh, tapi efeknya sangat lemah,” ujar Mills.

“Pendidikan yang kita miliki, ketika kita punya anak, sangat bergantung pada sosial dan lingkungan. Ini menggantikan efek genetik. Selama bertahun-tahun, kami telah memiliki ekspansi dalam pendidikan dan wanita sekarang mendapatkan pendidikan tiga hingga empat tahun lebih banyak dari yag diterima pada 1910,” sambungnya.

Mills juga menyebut bahwa kemungkinan ada tumpang tindih genetik antara pencapaian pendidikan tinggi dan memiliki anak lebih sedikit.

“Tapi apakah Anda bisa mengatakan bahwa hasilnya akan berubah seiring berjalannya waktu, dan evolusi, saya tidak begitu yakin,” kata Mills.

Robert Plomin, ahli genetik perilaku di Kings’s College London juga menyebut temuan tersebut adalah demonstrasi dari skor poligenik yang berada di garis depan revolusi DNA.

“Meski efek skor poligenik untuk pencapaian pendidikan pada kesuburan masih lemah dan perlu dilakukan replikasi pada populasi selain Islandia, penelitian ini merupakan pertanda arah baru dalam penelitian yang akan memungkinkan skor poligenik lebih besar dan lebih baik muncul secara online,” kata Plomin.

Studi lainnya yang tak kalah  kontroversialnya, dan  dipublikasikan di jurnal Trend in Genetics  menunjukkan bahwa manusia kini  memang semakin bodoh.

Gerald Crabtree, pimpinan studi yang juga peneliti di Stanford University, dalam publikasinya mengatakan, “Perkembangan kecerdasan dan optimalisasi ribuan gen kecerdasan kita mungkin terjadi relatif non-verbal pada grup manusia yang hidup sebelum moyang kita meninggalkan Afrika.”

Kecerdasan sangat penting pada masa berburu dan meramu. Manusia dapat membuat tempat berteduh dengan cepat dan menombak harimau yang mengancam. Kemampuan itu menentukan hidup dan mati manusia saat itu.

Crabtree menguraikan, kecerdasan tak diperoleh secara cuma-cuma, tetapi lewat proses evolusi dengan tekanan lingkungan sebagai pemicu seleksi alam.

Gen-gen yang mengendalikan kecerdasan manusia, berjumlah dua ribu hingga lima ribu, rentan mengalami mutasi.

Pada masa berburu dan meramu, tekanan lingkungan sangat besar. Tekanan itu yang memicu optimalisasi gen yang membuat cerdas, “menghapus” mutasi yang merugikan kecerdasan manusia.

Sejak masa pertanian, ketika manusia mulai hidup menetap, tekanan lingkungan menjadi rendah. Proses tersebut merugikan manusia. Tekanan lingkungan yang berkurang membuat proses “menghapus” mutasi—yang berpotensi membuat manusia menjadi bodoh—terhambat.

Hasil studi Crabtree menyatakan,  manusia akan meneruskan satu atau dua hasil mutasi yang berbahaya bagi kecerdasan dan emosional manusia.

Tentu saja hasil studi ini menuai beragam reaksi. Hasil studi bertentangan dengan studi lain yang mengungkapkan bahwa IQ manusia semakin meningkat dalam seratus tahun terakhir.

Thomas Will dari University of Warwick mengatakan bahwa banyaknya mutasi tak berarti membuat manusia lebih tak berotak dari sebelumnya.

Berkurangnya tekanan yang memaksa manusia menjadi pemburu ampuh justru memungkinkan munculnya kecerdasan yang lebih beragam.