close
Nuga Bola

Tangisan Jepang Ketika Disngkirkan Belgia

Jepang menangis.

Ya, Jepang memang pantas menangis ketika mereka secara heroic disngkirkan Belgia di laga enam belas besar Piala Dunia.

Ya juga ketika Jepang menunjukkan dua karakter bertolak belakang yang jadi ciri khasnya, dalam salah satu partai terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia.

Dahulu sebelum wabah operasi plastik mempercantik Korea Selatan, kaum Hawa asal Jepang merupakan primadona buat mayoritas kaum Adam di dunia.

Dua faktor sederhana yang jadi tolok ukurnya, mereka cantik (alami) tapi punya kesan naif.

Kecantikannya mampu memabukkan, kenaifannya begitu menggemaskan.

Namun faktor kedua bisa seketika membuat hati sang hawa yang terpikat patah, karena ketika kebosanan melanda, sang Adam bisa dengan mudah mencampakkannya.

Itulah yang kemudian terjadi pada timnas Jepang, dalam salah satu partai terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia, Selasa dinihari WIB

Menghadapi Belgia yang masih diperkuat generasi terbaik dalam sejarah sepakbolanya, Jepang jelas bukan unggulan.

Negeri Matahari Terbit sejatinya sudah cukup bersyukur bisa kembali mencapai babak 16 besar, yang jadi pencapaian terbaiknya di Piala Dunia. Apalagi menilik status kelolosan mereka dari Grup E.

Inferioritas Jepang kemudian terpampang sepanjang babak pertama laga, yang dihelat di Rostov Arena. Tim asuhan Akira Nishino tidak bermain buruk memang, tapi Belgia jelas merupakan tim yang lebih baik.

Axel Witsel cs sanggup meraih lima puluh lima5 persen penguasaan bola, melepaskan sepuluh tembakan berbanding empat, dan punya akurasi umpan yang lebih tinggi di angka delapan puluh enam persen.

Walaupun faktanya, urung hadir peluang mencetak gol berarti.

Namun setidaknya statistik yang tersaji, sudah layak hadirkan hipotesis bahwa Belgia tinggal menunggu waktu saja untuk mencetak gol, menang, dan bersiap melawan Brasil di perempat-final.

Hipotesis itu memang akhirnya jadi sintesis.

Tapi tesis yang terjadi, jauh bertolak dari teori liar para penonoton, pandit, sampai para pelakunya di atas lapangan.

Jepang secara mengejutkan menampilkan performa cantik yang memantik hasil.

Hanya dalam tempo tujuh menit sejak babak kedua dimulai, papan skor memaparkan keunggulan dua gol untuk Tim Samurai Biru.

Prosesnya brilian, lewat serangan balik.

Gol pertama berkat tembakan menyusur tanah nan akurat Genki Haraguchi, sementara gol kedua melalui dentuman spektakuler Takashi Inui dari luar kotak penalti.

Bayang-bayang lolos ke delapan besar untuk kali perdana tampak nyata, kendati pertandingan masih sisakan tiga puluh delapan menit waktu normal.

Naif, alih-alih pragmatis mempertahankan hasil, Jepang justru terus mengusung permainan cantiknya.

Atas dasar mempertahankan adrenalin para penikmat, atas dasar bahwa sepakbola haruslah menghibur, Jepang mengkhianati hasratnya untuk meraih hal terpenting dari semua jenis permainan: menang.

Pelatih Belgia, Roberto Martinez, langsung bereaksi usai Belgia tertinggal dua gol.

Sadar Jepang lemah dalam duel udara dan longgar di lini pertahanan, dia langsung memasukkan pemain berpostur raksasa dalam diri Marouane Fellaini dan sprinter segar dalam sosok Nacer Chadli.

Jepang? Nishino sang nakhoda tak melakukan perubahan apapun selain membiarkan pemainnya melanjutkan performa cantik, sembari berharap gol ketiga lahir.

Nahas, Belgia seketika menyetarakan kedudukan jadi dua berbanding dua tatkala waktu normal masih sisakan enam belas menit.

Semuanya lewat udara, melalui tandukan fantastis Jan Verthongen dan Fellaini yang baru masuk.

Gol-gol yang memang tak terhindarkan, karena sejak Martinez melakukan perubahan, total tujuh bola udara dilancarkan ke kotak penalti Jepang, lima di antaranya berhasil disambut, dan hanya tiga yang gagal jadi gol.

Namun Jepang masih ngeyel seakan tak sadar akan jurang kualitas yang terbentang. Skema ofensif tetap diterapkan hingga kenaifan mereka memuncak di detik terakhir pertandingan.

Hanya menyisakan dua pemain di belakang ketika mendapat sepak pojok pamungkas laga, Belgia, tentunya, sukses memenangkan duel udara atas Jepang dan langsung lancarkan serangan balik kilat.

Cukup tiga operan, yang disertai wise-dummy Romelu Lukaku, Chadli merobek jala Jepang untuk pastikan kemenangan dramatis Les Diables Rouges lewat skor 3-2! Jepang tersingkir, Belgia pun lolos.

Ironis, tapi bukan kali pertama Jepang menampilkan karakter bertolak belakang macam ini. Mampu bermain cantik, tapi disertai dengan optimisme yang naif.

Nishino mengungkap kembali masalah tersebut usai laga, kendati dia berperan di dalamnya.

“Empat tahun lalu di Brasil, kami gagal ke babak enam belas besar dan seantero Jepang tahu bagaimana cara kami kalah dari Kolombia.”

“Delapan tahun silam di babak enam belas besar, kami mampu melalui perpanjangan waktu, sampai adu penalti, tapi akhirnya kalah. Saya menginginkan mentalitas berbeda, saya pikir sudah sukses, tapi mungkin masih ada sesuatu yang kurang,” ungkapnya, dikutip laman resmi FIFA.

Di sisi berlawanan, Martinez secara tersirat sepakat dengan masalah yang dimiliki Jepang.

“Jika Anda melihat statistik, tidak banyak partai di mana Anda bisa membalikkan ketertinggalan   dua gol dalam ajang Piala Dunia. Saya pikir ini akan tergantung pada personaliti, fokus, hasrat, dan sikap pantang menyerah,” teranganya usai bentrok, dilansir laman resmi FIFA.

Benar bahwa Jepang pada akhirnya pulang dengan kepala tegak. Shinji Kagawa cs patut berbangga pada apa yang sudah mereka pentaskan sepanjang Piala Dunia  ini, sebagai representasi sepakbola Asia.

Namun pembenahan lagi-lagi harus dilakukan karena jika saja kenaifan itu lenyap, Jepang layak melangkahkan kakinya lebih jauh.