close
Nuga Bola

Premier League
“Spam”, Umpatan dan Gosip “WAGs”

NUGA.CO – Memasuki minggu keenam Premier League, jagat sepakbola Inggris gaduh oleh rentetan kasus umpatan twit untuk wasit Mark Halsey, pengusiran Jonjo Shelvey dalam laga Liverpool-MU, hengkangnya Terry dari “The Three Lions” dan makin maraknya perdebatan tentang kriteria diving.

Premier League memang menjadi tempat buangan spam, sampah dalam istilah teknologi informasi. Tempat umpatan, cacimaki, perdebatan peranan wasit seputar free kick yang tak berkesudahan, gosip selingkuh pemain dengan artis “opera sabun” ataupun dikaitkan dengan “WAGs” (wives and girls), himpunan para istri dan kekasih pemain, untuk menjadikan atmosfir liga sebagai panggung pamer sensitifitas punggung terbuka dan belahan dada menganga.

Sepakbola Inggris, seperti ditulis surat kabar prestisius The Telegraph yang terkenal lewat “investigative reports” dan akurasi beritanya, di suplemen 12 halaman pada pra-liga lalu, “menguliti” seluruh aspek sepakbola Inggris, termasuk berapa uang yang bisa disedotnya.

Uang yang datang dari siaran televisi ataupun iklan dan penjualan turunan produk yang memakai logo klub. “Sepakbola Inggris memang gaduh,” kata salah satu judul investigasi The Telegraph. Penuh intrik dan tak pernah sepi dari komentar beralur liar dan kemudian mewabah bagaikan “virus ebola” hingga ke seluruh jagat media di muka bumi ini.

“Kalau aliens punya media mereka pasti akan memberi ruang bagi berita selingkar Premier League,” tulis laporan itu bercanda di anak kalimatnya.

Redaktur senoirnya, Robert Smith, yang khusus memimpin investigasi itu punya kesimpulan valid tentang adanya “penyakit jiwa” yang terus menyerang pusar kehidupan sepakbola di sini. Dan penyakit itu tidak akan pernah sembuh karena ia menjangkiti orang-orang gila. “Semuanya terserang. Tak ada yang imun.”

Bahkan seorang redakturnya yang sedang berlibur ke sebuah kampung di dataran rendah Sungai Mekhong, Kamboja, terkejut menyaksikan anak-anak dan orang dewasa begadang sepanjang malam hanya untuk menonton sebuah pertandingan persahabatan MU di musim liburan. Dia mengirimkan tulisan beserta fotonya untuk menjadi bagian dari laporan khusus itu.

Mereka, anak-anak di desa miskin itu, memakai baju MU bernomor punggung 7 yang sudah lusuh dan mencerocoskan bagaimana Rooney cedera dan kemungkinan posisi MU di musim mendatang. Untuk menyaksikan pertandingan live itu mereka dikutip uang dan bersorak ria menyambut setiap kemenangan “Setan Merah”.

“Mereka lebih paham tentang MU dari pada kemiskinannya sendiri dan tak pernah tahu siapa yang memerintah di Pnom Penh sana. Ironis,” tulis Telegraph dengan kalimat satir. “Mereka melupakan kemiskinan dan berdebat tentang MU yang mereka sendiri tidak tahu negeri itu berada di mana.”

Sepakbola Inggris memang bagaikan virus yang menyebar bagaikan wabah hingga kepelosok negara. Mereka berlomba mencari pasar untuk menjual produk berlogo timnya sampai ke Cina atau Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Anak-anak muda di Jakarta bersedia merogoh dompetnya untuk membeli kaus MU yang asli dengan harga Rp.300 ribu.

Para sponsor mendatangkan tim dengan harga dan fasilitas selangit. Bahkan mereka bisa mendatangkan mantan kiper MU van Der Saar menghadirkan di acara “Indonesiaan Idol” dan membayar semua pengeluarannya yang tidak sedikit untuk berlibur ke Pulau Moya di Lombok.

Sebuah kegilaan, mungkin, dari sebuah negara yang yang sedang mencetak kelas berpenghasilan menengah. Kelas dengan status yang gamang dan sepakbola Inggris memanfatkan peluang itu dengan baik.

***

Gaduh sepakbola Inggris di pertengahan pekan keenam Premier League memang sedang berlangsung, dan menenggelamkan hasil pertandingan Piala Liga ketika MU menang melawan Newcastle.

Para “burung” penyebar kicauan di jagat twitter lebih terpana menelusuri berita umpatan terhadap Mark Halsey. Wasit kawakan dalam Premier League itu, dikicaukan dengan nada menyakitkan, “kenapa ia tidak mati saja dengan kankernya.” Halsey memang menderita kanker dan sudah dinyatakan sembuh oleh para dokter dan diperkenankan memimpin kembali pertandingan liga.

Sebuah kicauan yang lain malah lebih sadis dengan ucapan, ”Saya berharap Mark mendapatkan kanker lagi dan mati.”

Walaupun kedua kicauan itu telah dihapus oleh pemilik akun, komisi yang menunjuk wasit-wasit profesional liga, berupaya mencari penyebar berita itu. Bahkan Mark sendiri tergoncang dengan kicauan itu dan keluarganya sedang mempertimbangkan untuk membawa kasusnya ke ranah hukum.

Bersama dengan komisi wasit, keluarga Mark sedang membahas siapa yang akan digugat dan bagaimana dengan hukumnya secara kriminal. Sebab para pengicau menggunakan ruang publik untuk menghancurkan reputasi seseorang.

Lepas dari kicauan pedih itu Mark masih menuai kritik tentang keputusannya mengartumerahkan Jonjo Shelvey. Gerrard kapten Liverpool dan Neville, pensiunan MU, menuding Mark berpihak. “Kenapa hanya Shelvey yang harus diusir. Evans juga harus menerima hukuman yang sama,” kata Gerrard yang senada dengan Neville.

Komentar ini dianggap dingin oleh Halsey. “ udah lewat. Bukan Gerrard atau Neville atau Brendan sekali pun yang punya hak menilai. Komisi wasit tentu tahu tentang latar belakang keputusan saya,” kata wasit itu dingin.

Daftar kasus yang paling heboh tentu saja keputusan John Terry gantung sepatu dari “The Three Lions.” Hingga hari ini, Kamis, media Inggris baik cetak maupun elektronik dan jagat portal masih berkejaran mengumpulkan bagaimana nasib yang akan menimpa Terry empat hari mendatang.

“Empat hari lagi,” tulis judul Sky Sports dalam laman portalnya. Bahkan Sky TV melakukan wawancara live dengan Capello, bekas pelatih tim nasional Inggris, tentang kesediaannya menjadi saksi meringankan Terry di persidangannya nanti. Ia bersama Brandini, sang asistennya ketika mengasuh “ The Three Lions” bersedia didengar keterangan dalam panel itu.

“Saya akan bersaksi dari Roma. Saya tidak hadir secara fisik di sana. Itu pasti. Saya tahu siapa dan bagaimana komitmen Terry terhadap FA,” kata Capello. Ia seorang yang elegan di tim. Persoalan di luar tim saya tidak akan mencampuri. Dia kapten ketika saya melatih sebelum datangnya Hodgson. Kasus Terry dalam sepakbola sangat sensitif. Ia berbuat rasial terhadap Ferdinand ketika Chelsea bertanding melawan Queens Park Rangers (QPR).

Walaupun sudah berdamai, dengan jabat tangan dengan Ferdinand di awal musim liga, dan High Court, pengadilan banding, telah menolak kasusnya, komisi displin FA tetap akan mengadili Terry. “Mereka tak peduli dengan kata damai antara kedua pemain dan pengadilan. Ini keterlaluan,” tulis tajuk Mirror. Bahkan The Times menuduh FA punya agenda agar Terry tersingkir dari tim nasional dengan penghancuran karaternya. (DBS)